Oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain
Mahram adalah
orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan
susuan atau karena ada ikatan perkawinan. Lihat Ahkam An-Nazhar Ila
Al-Muharramat hal.32. Adapun ketentuan siapa yang mahram dan yang bukan
mahram telah dijelaskan dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 23,
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri
anak-anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuai yang telah terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An-Nisa:
32).
Di dalam ayat ini disebutkan beberapa orang mahram yaitu:
Pertama:
Ummahatukum (ibu-ibu kalian). Ibu dalam bahasa arab artinya setiap yang
nasab lahirmu kembali kepadanya. Defenisi ini akan mencakup:
1. Ibu yang melahirkanmu.
2. Nenekmu dari ayah maupun dari Ibumu.
3. Nenek ayahmu dari ayah maupun ibunya.
4. Nenek ibumu dari ayah maupun ibunya.
5. Nenek buyut ayahmu dari ayah maupun ibunya.
6. Nenek buyut ibumu dari ayah maupun ibunya.
7. dan seterusnya ke atas.
Kedua:
Banatukum (anak-anak perempuan kalian). Anak perempuan dalam bahasa
arab artinya setiap perempuan yang nisbah kelahirannya kembali kepadamu.
Defenisi ini akan mencakup:
1. Anak perempuanmu.
2. Anak perempuan dari anak perempuanmu (cucu).
3. Anaknya cucu.
4. dan seterusnya ke bawah.
Ketiga: Akhwatukum (saudara-saudara perempuan kalian). Saudara perempuan ini meliputi:
1. Saudara perempuan seayah dan seibu.
2. Saudara perempuan seayah saja.
3. dan saudara perempuan seibu saja.
Keempat: `Ammatukum (saudara-saudara perempuan ayah kalian). Masuk dalam kategori saudara perempuan ayah:
1. Saudara perempuan ayah dari satu ayah dan ibu.
2. Saudara perempuan ayah dari satu ayah saja.
3. Saudara perempuan ayah dari satu ibu saja.
4. Masuk juga di dalamnya saudara-saudara perempuan kakek dari ayah maupun ibumu.
5. dan seterusnya ke atas.
Kelima:
Khalatukum (saudara-saudara perempuan ibu kalian). Yang masuk dalam
saudara perempuan ibu sama seperti yang masuk dalam saudara perempuan
ayah yaitu:
1. Saudara perempuan ibu dari satu ayah dan ibu.
2. Saudara perempuan ibu dari satu ayah saja.
3. Saudara perempuan ibu dari satu ibu saja.
4.Saudara-saudara perempuan nenek dari ayah maupun ibumu.
5. dan seterusnya ke atas.
Keenam: Banatul akhi (anak-anak perempuan dari saudara laki-laki). Anak perempuan dari saudara laki-laki mencakup:
1. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah dan satu ibu.
2. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah saja.
3. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ibu saja.
4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.
5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.
6. dan seterusnya ke bawah.
Ketujuh:
Banatul ukhti (anak-anak perempuan dari saudara perempuan). Ini sama
dengan anak perempuan saudara laki-laki, yaitu meliputi:
1. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah dan ibu.
2. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah saja.
3. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ibu saja.
4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan,.
5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan.
6. dan seterusnya ke bawah.
Catatan penting:
Tujuh
yang tersebut di atas adalah mahram karena nasab. Sehingga kita bisa
mengetahui bahwa ada empat orang yang bukan mahram walaupun ada hubungan
nasab, mereka itu adalah:
1. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayah (sepupu).
2. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu).
3. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah (sepupu).
4. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu (sepupu).
Mereka ini bukanlah mahram dan boleh dinikahi.
Kedelapan : Ummahatukum al-laati ardha'nakum (ibu-ibu yang menyusui kalian). Yang termasuk ibu susuan adalah:
1. Ibu susuan itu sendiri.
2. Ibunya ibu susuan.
3. Neneknya ibu susuan.
4. dan seterusnya keatas.
Catatan penting:
Kita
melihat bahwa dalam ayat ini Ibu susuan dinyatakan sebagai mahram,
sementara menurut ulama pemilik susu adalah suaminya karena sang
suamilah yang menjadi sebab isterinya melahirkan sehingga mempunyai air
susu. Maka disebutkannya ibu susuan sebagai mahram dalam ayat ini adalah
merupakan peringatan bahwa sang suami adalah sebagai ayah bagi anak
yang menyusu kepada isterinya. Dengan demikian anak-anak ayah dan ibu
susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai
saudaranya (sesusuan), dan demikian pula halnya dengaan saudara-saudara
dari ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan
dianggap sebagai paman dan bibinya. Karena itulah Nabi ? menetapkan di
dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam
Muslim dari hadits `Aisyah dan Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma-,
"Sesungguhnya menjadi mahram dari susuan apa-apa yang menjadi mahrom
dari nasab".
Kesembilan: Akhwatukum minar radha'ah (dan
saudara-saudara perempuan kalian dari susuan). Yang termasuk dalam
kategori saudara perempuan sesusuan adalah:
1. Perempuan yang kamu disusui oleh ibunya ( ibu kandung maupun ibu tiri).
2. Atau perempuan itu menyusu kepada ibumu.
3. Atau kamu dan perempuan itu sama-sama menyusu pada seorang perempuan yang bukan ibu kalian berdua.
4. Atau perempuan yang menyusu kepada istri yang lain dari suami ibu susuanmu.
Kesepuluh:
Ummahatu nisa`ikum (dan ibu isteri-isteri kalian). Ibu isteri mencakup
ibu dalam nasab dan seterusnya keatas dan ibu susuan dan seterusnya
keatas. Mereka ini menjadi mahram bila/dengan terjadinya akad nikah
antara kalian dengan anak perempuan mereka, walaupun belum bercampur.
Tidak ada perbedaan antara ibu dari nasab dan ibu susuan dalam kedudukan
mereka sebagai mahram. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Ibnu
Mas'ud, Ibnu `Umar, Jabir dan Imran bin Husain dan juga pendapat
kebanyakan para tabi'in dan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam
Ahmad dan Ashhab Ar-ro'y yang mana mereka berdalilkan dengan ayat ini,
oleh karena itu kita tidak bisa menerima perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang menyatakan bolehnya seorang lelaki menikah dengan ibu
susuan isterinya dan saudara sesusuan istrinya. Wallahu A'lam.
Kesebelas:
Anak-anak istrimu (Ar-Raba`ib) yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.
Ayat ini menunjukkan bahwa Ar-Raba`ib adalah mahram. Dan menurut bahasa
arab Ar-Raba`ib ini mencakup:
1. Anak-anak perempuan istrimu.
2. Anak-anak perempuan dari anak-anak istrimu ( cucu perempuannya istri).
3. Cucu perempuan dari anak-anak istrimu.
4. dan seterusnya ke bawah.
Tapi
Ar-Raba`ib ini dalam ayat ini menjadi mahram dengan syarat apabila
ibunya telah digauli adapun kalau ibunya diceraikan atau meninggal
sebelum digauli oleh suaminya maka Ar-Raba`ib ini bukan mahram suami
ibunya bahkan suami ibunya itu bisa menikahi dengannya. Dan ini
merupakan pendapat Jumhur Ulama seperti Imam Malik, Ats-Tsaury,
Al-Auza'y, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Hal ini berdasarkan
dzhohir ayat di ayat, "Dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya."Adapun yang tersebut di ayat
(Ar-Raba`ib yang dalam pemeliharaanmu) kata "dalam pemeliharaanmu" dalam
ayat ini bukanlah sebagai syarat untuk dianggapnya Ar-Raba`ib itu
sebagai mahram. Semua Ar-Rabaib baik yang dalam pemeliharaan maupun yang
diluar pemeliharaan adalah mahram menurut pendapat jumhur ulama. Jadi
kata "dalam pemeliharaanmu" hanya menunjukkan bahwa kebanyakan
Ar-Raba`ib itu dalam pemeliharaan atau hanya menunjukkan dekatnya
Ar-Raba`ib tersebut dengan ayahnya. Dengan demikian nampaklah hikmah
kenapa Ar-Raba`ib menjadi mahram. Wallahu A'lam.
Keduabelas: Istri-istri anak-anak kandungmu (menantu). Ini meliputi:
1. Istri dari anak kalian.
2. Istri dari cucu kalian.
3. Istri dari anaknya cucu.
4. dan seterusnya kebawah baik dari nasab maupun sesusuan.
Mereka semua menjadi mahram setelah akad nikah dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam hal ini.
Lihat pembahasan di atas dalam:
Al-Mughny
9/513-518, Al-Ifshoh 8/106-110, Al-Inshof 8/113-116, Majmu' Al-Fatawa
32/62-67, Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah 2/589-592, Zadul Ma'ad
5/119-124, Taudhil Al-Ahkam 4/394-395, Tafsir Al-Qurthuby 5/105-119,
Taisir Al-Karim Ar-Rahman.
Peringatan:
Demikian
mahrom dalam surah An Nisa. Tapi perlu diingat, pembicaraan dalam ayat
ini walaupun ditujukan langsung kepada laki-laki dan menjelaskan rincian
siapa yang merupakan mahrom bagi mereka, ini tidaklah menunjukkan bahwa
di dalam ayat ini tidak dijelaskan tentang siapa mahrom bagi perempuan.
Karena Mafhum Mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari ayat ini
menjelaskan hal tersebut. Misalnya disebutkan dalam ayat : "Diharamkan
atas kalian ibu-ibu kalian", maka mafhum mukhalafahnya adalah : "Wahai
para ibu, diharamkan atas kalian menikah dengan anak-anak kalian." Misal
lain, disebutkan dalam ayat : "Dan anak-anak perempuan kalian." Maka
mafhum mukhalafahnya adalah : "Wahai anak-anak perempuan diharamkan atas
kalian menikah dengan ayah-ayah kalian." Dan demikian seterusnya.
Sebagai
pelengkap dari pembahasan ini, kami sebutkan ayat dalam surah An Nuur
ayat 31, "Janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak
yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki mereka yang tidak
mempunyai keinginan (kepada wanita), atau anak-anak yang belum mengerti
tentang `aurat."
Demikianlah, mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat.
Wa akhiru da'wana wal hamdu lillahi Rabbil `alamin.
Sumber Majalah AN-NASHIHAH
dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar