Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya) :
"Pada
hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu ".
(QS. Al Maidah : 3).
Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya):
"Barang
siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum
pernah ada, maka ia tertolak ". (HR. Bukhari Muslim)
dalam riwayat Muslim (yang artinya):
"Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak".
Masih
banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang semuanya
menunjukan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama
ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka. Dia
tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali
setelah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat
dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui
ucapan maupun pengamalan.
Beliau menjelaskan segala
sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya
dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan ataupun
perbuatan, semuanya bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para
sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari
perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita dari padanya. Hal
ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah
dan pengingkaran bid'ah seperti Ibnu Wadhah dan Abi Syamah dan lainnya.
Diantara
bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid'ah mengadakan
upacara peringatan malam nisyfu sya'ban dan mengkhususkan hari
tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang
dapat dijadikan sandaran, memang ada beberapa hadits yang menegaskan
keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits tersebut dhaif
sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang
menegaskan keutamaan shalat pada hari tersebut adalah maudhu' (palsu).
A1
Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif ' mengatakan bahwa
perayaan malam nisfu sya'ban adalah bid'ah dan hadits-¬hadits yang
menerangkan keutamaannya adalah lemah.
Imam Abu Bakar At
Turthusi berkata dalam bukunya `alhawadits walbida' : "Diriwayatkan
dari wadhoh dari Zaid bin Aslam berkata :"kami belun pernah melihat
seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan nisyfu
sya'ban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan tidak pula
memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam¬-malam
lainnya".
Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata:
"Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya'ban menyamai pahala lailatul qadar.
bnu
Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang
ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang
penceramah.
Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya,
fawaidul majmuah, sebagai berikut : Hadits : "Wahai Ali barang siapa
melakukan shalat pada malam nisyfu sya'ban sebanyak seratus rakaat : ia
membaca setiap rakaat Al Fatihah dan Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh
kali, pasti Allah memenuhi segala .... dan seterusnya.
Hadits
ini adalah maudhu', pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala
yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya
bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits
ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ' dan
perawi¬-perawinya majhul.
Dalam kitab "Al-Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : "Hadits yang menerangkan shalat nisfu sya'ban adalah batil" .
Ibnu
Hibban meriwayatkan hadits dari Ali : "...Jika datang malam nisfu
sya'ban bershalat malamlah dan berpusalah pada siang harinya". Inipun
adalah hadits yang dhaif.
Dalam buku Al-Ala'i diriwayatkan :
"Seratus
rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya'ban adalah pahalanya
sepuluh kali lipat". Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu;
tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho'if.
Imam
Syaukani berkata : "Hadits yang menerangkan bahwa dua belas raka' at
dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan
hadits empat belas raka'at ....dst adalah maudhu".
Para
fuqoha' banyak yang tertipu oleh hadits-¬hadits maudhu' diatas seperti
pengarang Ihya' Ulumuddin dan sebagian ahli tafsir. Telah diriwayatkan
bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisfu sya'ban yang telah
tersebar ke seluruh pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak benar)
dan haditsnya adalah maudhu'.
Al-Hafidh Al-Iraqy berkata :
"Hadits yang menerangkan tentang sholat nisfu sya'ban maudhu' dan
pembohongan atas diri Rasulullallah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dalam
kitab Al-Majmu', Imam Nawawi berkata :"Shalat yang sering kita kenal
dengan shalat ragha'ib berjumlah dua belas raka'at dikerjakan antara
maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama bulan rajab, dan sholat
seratus raka'at pada malam nisfu sya'ban, dua sholat ini adalah bid'ah
dan mungkar.
Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua
hadits tersebut hanya karena telah disebutkan didalam kitab Qutul Qulub
dan Ihya' Ulumuddin, sebab pada dasarnya hadits-haduts tersebut bathil
(tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai
orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits yaitu dari
kalangan a'immah yang kemudian mengarang lembaran-¬lembaran untuk
membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut.
Syaikh Imam
Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma' il Al-Maqdisy telah mengarang suatu
buku yang berharga; beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits
diatas.
Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an
dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari
kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya' ban dengan
pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya degan
puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya
didalam syari'at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang
diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah
kita hayati ayat Al-Qur'an dibawah ini (yang artinya):
"Pada hari
ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu".
Dan
banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat diatas.
Selanjutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
"Barang
siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum
pernah ada, maka ia tertolak". (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya):
"Janganlah
kamu sekalian mengkhususkan malam jum 'at dari pada malam-malam
lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan
siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika
sebelum hari itu telah berpuasa" (HR. Muslim).
Seandainya
pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh
Allah, maka bukankah malam jum'at itu lebih baik dari pada malam-malam
lainnya, karena hari jum'at adalah hari yang terbaik yang disinari oleh
matahari ? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih.
Tatkala
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang untuk
mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini menunjukkan malam yang
lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang
mengkhususkannya.
Manakala malam lailatul Qadar dan
malam¬-malam bulan puasa itu disyari'atkan supaya sholat dan
bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, Nabi mengingatkan dan
menganjurkan kepada ummatnya agar supaya melaksanakan¬nya, beliaupun
juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan didalam hadits yang shohih
(yang artinya):
"Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan
ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan
mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan
sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah
akan mengampuni dosa yang telah lewat" (Muttafaqun 'alahi).
Jika
seandainya malam nisfu sya'ban, malam jum'at pertama pada bulan rajab,
serta malam isra' mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan
upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu’alaihi
Wassallam menjelaskan kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika
memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para
shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena
mereka adalah sebaik-baik manusia clan yang paling banyak memberi
nasehat setelah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dari
pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak ada
ketentuan apapun dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam ataupun
dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisfu sya'ban dan malam
jum'at pertama pada bulan Rajab.
Dari sini kita tahu
bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bidah yang
diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah
tertentu adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang
banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Mi'raj, begitu juga tidak
boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil
yang disebutkan tadi.
(Diringkas/ disadur dari kitab Tahdzir minul bida' karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Oleh An Nafi'ah dan redaksi).
Sumber: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=330
Tidak ada komentar:
Posting Komentar