Penulis : Ust. Muhammad Afifuddin As Sidawy
I. WAKTU PUASA
Kapan dimulai puasa ? Dan kapan berakhir? Hal ini telah diterangkan secara global oleh Allah I dalam firman-Nya :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“ dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam” (Al Baqoroh : 187)
Dalam Shohih Al-Bukhory (1917) dan Muslim
(1091/35) dari jalan Abu Hazim Salamah bin Dinar dari Sahl bin Sa’d
beliau menjelaskan : “ Tatkala ayat ini turun, bila ada seseorang yang
hendak puasa, dia mengikat di kedua kakinya tali hitam dan tali putih,
lalu dia terus saja makan dan minum hingga jelas nampak baginya
pemandangan (dua tali tadi).
Maka Allah turunkan setelah itu (مِنَ الْفَجْرِ ) merekapun tahu bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.”
Juga disebutkan dalam Shohih Al-Bukhory (1916) dan Muslim
(1090) dari jalan ‘Amir bin Syurohbil As-Sya’by dari Ady bin Hatim,
beliau menguraikan : “ Tatkala turun ayat ini, saya mengambil ikatan
hitam dan ikatan putih lalu saya letakkan di bawah bantalku, saya lihat
di malam hari namun tidak nampak bagiku, saya pun pergi di pagi hari
menuju Rosulullah, lalu saya ceritakan hal tersebut kepada Beliau, maka
Beliau bersabda
"إِنَّمَا ذَالِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَ بَيَاضُ النَّهَارِ "
“ yang dimaksud adalah kegelapan malam dan putihnya( terangnya ) siang”
Al-Imam
Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqolany رحمه الله , salah
seorang Imam besar dari Madzhab Syafi’iy, wafat tahun 852 H. Dalam
Kitabnya Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhory 4/633 cet.
Daarul Fikr, Bairut-Libanon tahun 1416H/1996 M. Menjelaskan : “ Makna
ayat ini adalah : Hingga nampak jelas putihnya siang dari hitamnya
malam, kejelasan ini dicapai dengan terbitnya fajar shodiq.”
Silahkan
periksa keterangan senada dari Al-Imam Asy-Syaukany Muhammad bin Ali
bin Muhammad. Wafat tahun 1250 H. Seorang Imam besar dari Yaman, dalam
tafsir beliau Fathul Qodir (1/339 cet. Daarul Wafa’-AL-manshurih-Mesir th 1418 H/1997 M).
II. FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHODIQ
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan kepada kita secara gamblang batas akhir
waktu shahur dan dimulainya waktu puasa. Yaitu dengan terbitnya fajar
shodiq sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan
Al-Imam Asy-Syaukany.
Dengan terbitnya fajar shodiq, masuknya waktu sholat shubuh, dimulainya waktu puasa dan berakhirnya waktu sahur.
Lalu
bagaimana dan apa fajar kadzib dan fajar shodiq itu? Masalah ini telah
dibahas oleh kakanda tercinta Al-Akh Agus Su’aidi dalam tulisannya
“PEDOMAN WAKTU SHOLAT ABADI SESUAI PETUNJUK NABI”. Silakan merujuk ke
sana.
Sementara itu, penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas ditopang oleh banyak hadits dari Rosulullah. Diantaranya :
1. Dari ‘Aisyah dia berkata : Bahwasanya Bilal biasa adzan pada waktu malam, maka Rosulullah bersabda :
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَى يُؤَذِّنُ إِبْنُ أُمِّ مَكْتُمٍ فَإِنَّهُ لاَيُؤْذَنُ حَتَى يَطْلَعَ الفَجْرُ
“ Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, sebab dia tidak adzan hingga terbit fajar.” ( HR. Al-Bukhory [1918-1919] dan Muslim [1092/387] )
Hadits ini juga datang dari shohabat Ibnu Umar رضي الله عنهما pada refrensi yang sama.
Yang
dimaksud dengan tebit fajar di sini adalah fajar shodiq bukan fajar
kadzib, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud . Lihat Shohih Muslim no: 1093.
Al Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawy رحمه الله , wafat tahun 677 H, seorang alim besar Madzhab Syafi’iy, dalam kitabnya Syarh Shohih Muslim (7/176
cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Libanon tahun 1415 H/1995 M). Menjelaskan
: “Hadits ini menunjukkan kebolehan makan, minum, jima’(hubungan
suami-istri) dan segala sesuatu, hingga terbit fajar.”
2. Dari Samuroh bin Jundub : Bahwa Rosulullah bersabda :
لاَ يَغُرَّنَّ أَحَدَكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ مِنَ السَّحُورِ وَلاَ هَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَسْتَطِيرَ
“Janganlah menipu kalian untuk sahur adzan Bilal ataupun cahaya putih ini (fajar kadzib) hingga dia menyebar (fajar shodiq) “ (HR. Muslim no. 1094).
Bila keterangan di atas dapat difahami bersama, maka berikut ini saya bawakan beberapa permasalahan seputar sahur :
III. KEUTAMAAN MAKAN SAHUR
Makan Sahur memiliki banyak keutamaan diantaranya :
1.Makan Sahur adalah barokah.
Dalam Shohih Al-Bukhory (1923) dan Muslim (1095) dari jalan Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik , Rosulullah bersabda :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“ Makan sahurlah kalian, karena Makan Sahur di dalamnya ada barokah”
Para ‘Ulama memperbincangkan makna barokah pada Makan Sahur.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar menegaskan : “Pendapat yang tepat adalah bahwa barokah pada
Makan Sahur dapat dicapai dari banyak sisi yaitu Mengikuti Sunnah,
Menyelisihi Ahli Kitab, Memperkuat Diri dengan sahur untuk ibadah,
Menambah Semangat, Mencegah Akhlak Jelek yang ditimbulkan oleh
kelaparan, Menyebabkan adanya Amalan Shodaqoh kepada orang yang meminta
pada waktu itu atau makan bersamanya, Menyebabkan adanya Amalan Dzikir
dan Do’a di waktu maqbulnya do’a, Mengoreksi Niat Puasa bagi yang lupa
sebelum tidur.” (Fathul Bari, 4/693)
2. Menyelisihi Ahli Kitab
Dalam Shohih Muslim (1096) dari hadits ‘Amr bin Al-‘Ash bahwa Rosulullah bersabda :
فَصَلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَحْرِ
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah Makan Sahur“
IV. HUKUM MAKAN SAHUR
Telah
lewat hadits Anas di atas yang menunjukkan perintah Makan Sahur,
sementara hukum asal perintah adalah wajib namun telah dinukil
kesepakatan para ‘Ulama tentang Sunnahnya Makan Sahur. Dinukil oleh
Ibnu Mundzir sebagaimana dalam Fathul Bari (4/639) dan Al-Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (7/179).
Yang merubah hukum wajib menjadi Sunnah adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi penah berpuasa Wishol, lihat Shohih Bukhory (1922).
Makan Sahur dikatakan sah dengan memakan sesuatu apapun walau hanya meminum seteguk air.
V. WAKTU SAHUR
Ayat
Surah Al-Baqoroh yang telah lewat di atas menunjukkan bahwa sahur bisa
dilakukan kapan saja pada waktu malam, yang penting tidak melebihi
fajar shodiq, namun telah datang banyak riwayat yang menganjurkan makan
sahur hingga mendekati fajar shodiq diantaranya adalah:
1.
Dari Sahl bin Sa’ad dia berkata : “saya makan sahur dengan keluargaku,
lalu saya bersegera untuk mendapat sujud (sholat fajar) bersama
Rasulullah“. (HR Bukhory no. 1920)
“Yang
dimaksud oleh Sahl bin Sa’ad adalah karena sahurnya sangat dekat dangan
tebitnya fajar(shodiq), maka dia bersegera dalam sahur dan hampir
tidak mendapatkan sholat subuh bersama Rasulullah r karena Beliau r
memulai sholat subuh pada waktu gholas (diawal waktu).”
Demikian diterangkan Al Qodhi ‘Iyad Al Maliky sebagaimana yang dinukil oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/67
2.
Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : “kami pernah sahur bersama Nabi
kemudian Beliau bangkit untuk sholat” saya (Anas bin Malik ) bertanya :
berapa jarak antara adzan dan waktu sahur? Dia jawab : “seukuran lima
puluh ayat” (HR Bukhory no. 1921)
Hadits-hadits di atas dijadikan dalil oleh para ‘Ulama untuk menunjukkan Sunnahnya mengakhirkan sahur hingga mendekati terbit fajar.
Berikut
ini akan kami bawakan perkataan ‘Ulama dahulu maupun sekarang tentang
hal ini sebagai gambaran jelas bagi kaum muslimin bahwa masalah ini
telah diterangkan dan dipraktekkan oleh mereka :
Ø Al Imam As-Syafi’iy
“saya
menganjurkan sahur diakhirkan selama tidak mendekati waktu yang
ditakutkan telah terbit fajar, sebab (bila terbit fajar) saya menyukai
sahur di stop pada saat itu…” (Al-Umm, 2/106 cet.1 Daarul Fikr tahun 1422 H/2002 M)
Ø Al Imam Ahmad bin Hambal ta’ala
“menakjubkan
diriku mengakhirkan sahur karena hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin
Tsabit …” , lalu beliau membawakan hadits Zaid di atas.
(lihat Asy-Syarhul Kabir 4/220 cet. 1 Daarul Hadits Cairo tahun 1416 H/1996 M dan Al Mughni karya Ibnu Qudamah 4/251 cet. sama )
Ø Al Imam Ibnu Hazm Al Andalusy wafat Th 456 H
“Termasuk Sunnah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur…” (lihat : Al Muhalla 6/240. cet. Daarul Afaq – Al Jadidah, Beirut tanpa tahun)
Ø Al Imam Nawawy
“di dalam hadits ini (hadits Zaid) ada anjuran mengakhirkan waktu sahur sampai waktu fajar. ” (Syarah Shohih Muslim, 7/180)
Bahkan
beliau menukilkan kesepakatan Madzhab Syafi’iy dan para ‘Ulama lain
tentang hal ini : “madzhab kami dan yang lainnya dari kalangan para
‘Ulama telah sepakat bahwa sahur adalah Sunnah dan mengakhirkannya
adalah lebih utama. ” (lihat : Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/621 cet : 1 Daarul ihya’ ut turots al ‘araby Beirut th 1422 H/2001 M)
Ø Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy wafat th 630 H.
“Yang terpilih adalah mengakhirkan sahur dan menyegerakan buka puasa” (Al-Mughni, 4/251)
Ø Al Imam Ibnu Qudamah wafat th 682 H
“dianjurkan menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur” (As-Syarhul Kabir, 4/219)
Ø Imam Ibnu Katsir wafat 774 H
“Dianjurkan mengakhirkan sahur hingga waktu terbitnya fajar”(lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228 cet.10, Daarul Ma’rifah-Bairut tahun 1418 H/1997 M)
Ø Al-Hafizh Ibnu Hajar wafat tahun 852 H.
“Hadits ini (hadits Zaid) ada penjelasan tentang mengakhirkan sahur, sebab hal ini tersebut lebih mencapai maksud (puasa)” (Fathul Bari, 4/638)
Ø Al Imam Syaukani wafat th 1255 H
“Di
sini ada dalil yang menunjukkan di syari’atkan mengakhirkan sahur dan
telah lewat penjelasan Ibnu Abdil Barr, bahwa hadits yang mengakhirkan
sahur adalah shohih lagi mutawatir. ” (lihat Nailul Author 4/303 cet. 4
Daarul Fikr, tanpa tahun).
Dan beliau berpendapat bahwa hal ini adalah Sunnah, sebagaimana dalam kitab beliau (Ad-Darory Al-Mudliyah 1/379 Cet. 4, Maktabah Al-Irsyad-Shon’a-Yaman tahun 1421 H/2001M).
Ø Al Imam Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al Utsaimin wafat 1421 H/2001 M
“Yang Sunnah adalah mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terbit fajar, karena hal ini adalah perbuatan Nabi”
(Lihat Majalis Syahri Romadlon hal 124 cet.1, Maktabah Al-Irsyad-Shon’a-Yaman tahun 1421 H/1996 M”).
Periksa juga penjelasan beliau lebih panjang dalam karya besar beliau (As-Syarhul Mumti’ 3/80-81 cet. Daarul Atsar, Mesir, tanpa tahun)
Ø Al Imam Al Alamah Muqbil bin Hadi wafat 1421 H/2001 M
“Sahur lebih afdhol di akhirkan sampai menjelang fajar kira-kira 60 ayat ...” (Ijabatus Sail hal 165 cet. 1 Daarul Hadits-Dammaj tahun 1416 H/1995 M)
Ø Al Imam Syaikh Abdullah Aalu Bassam (murid Imam As Sa’dy, sezaman dengan Syaikh Al Utsaimin)
“Hadits-hadits
yang memerintahkan dan menganjurkan sahur, mengakhirkan waktunya,
menyegerakan berbuka adalah mutawatir, sebagaimana yang dihikayatkan
oleh At-Thohawy dan yang lainnya” (Taudlihul Ahkam 3/156 cet. Daarul Qiblah tanpa tahun).
Dalam karya beliau yang lain Taisirul Allam
( 2/38 cet. 7 Daarul Fikr tahun 1407 H/1987 M). Tatkala menyebutkan
hadits Zaid bin Tsabit di atas beliau menyebutkan faedahnya di
antaranya : “Keutamaan mengakhirkan sahur hingga menjelang fajar”.
Ø Al Imam ibnu Daqiq Al-Ied wafat 702 H
“Dalam hadits ini (hadits Zaid) ada dalil yang menunjukkan anjuran mengakhirkan sahur dan mendekatkannya pada fajar”. (Ihkamul Ahkam 2/163 cet. 1 Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Bairut tahun 1420 M/2000 M).
Ø Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al Hilaly wafaqohumullah (murid ahli hadits zaman ini Al Imam Nasiruddin Al Albany )
“Dianjurkan mengakhirkan sahur hingga menjelang fajar ...” (Sifat Shoum An-Nabi hal : 46 cet. 5 Maktabah Islamiyah, tahun 1412 H).
Demikian
sedikit nukilan dari para ‘Ulama dahulu maupun sekarang, cukuplah bagi
kaum muslimin mengambil hadits Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dalam
masalah dengan nukilan Ijma’ dari imam terkenal madzab Syafi’iy, yaitu
Imam An-Nawawy رحمه الله .
VI. BATAS AKHIR SAHUR
Untuk
lebih menjelaskan tentang masalah ini, akan saya nukilkan -bi
Idznillah- khilaf para ‘Ulama tentang akhir batas sahur, sebagai
gambaran bagi kaum muslimin bahwa mereka mengakhirkan sahur tanpa
mengenal istilah IMSAK yang ada di zaman sekarang.
Perbedaan pendapat para ‘Ulama dalam masalah batas akhir sahur, adalah sebagai berikut :
1.
Jumhur ‘Ulama berpendapat, bahwa batas akhir sahur adalah terbitnya
fajar shodiq. Dalil mereka adalah ayat dan hadits yang telah disebutkan
di atas.
2. Sebagian Salaf membolehkan sahur hingga cahaya putih telah tersebar di atap-atap rumah dan gang-gang desa.
Pendapat
ini diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit.
Juga
diriwayatkan dari sebagian tabi’in rohimahumullah jami’an, diantaranya :
Muhammad bin Ali bin Al-Husain, Abu Mijlaz, Ibrohim An-Nakho’iy, Abu
Dluha, Abu Wa’il, dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Atho’,
Al-Hasan Al-Basry, Al-Hakam bin ‘Uyainah, Mujahid, ‘Urwah bin Zubair,
Abu Sya’tsa Jabir bin Zaid dan ini adalah pendapat Al-A’masy dan Jabir
bin Rosyid.
3. Al-Imam Ibnul ‘Aroby Abu Bakr Al-Maliky ,
berpendapat, tentang keharusan menahan diri dari larangan-larangan
puasa bila telah mendekati fajar shodiq. Sebagaimana dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an, 1/105 cet. 1 Daarul ihyaut turots al-aroby-Bairut tahun 1421 H/2001 M
Pendapat beliau ini disitir oleh ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid,
1/211 cet. Daarul Ihyaul Kutub Al-Arobiyah tanpa tahun. Dengan shighot
tamridl ( قيل ) untuk menunjukkan kelemahannya dan beliau memberikan
alasan bahwa pendapat ini hanya berdasarkan kehati-hatian.
4. Ibnu Jarir At-Thobary , menukilkan dari sebagian orang yang berpendapat bahwa akhir waktu sahur adalah terbitnya matahari.
Pendapat ini disanggah oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/228-229 karena menyelisihi ayat di atas.
Pendapat
yang shohih tanpa syak lagi adalah pendapat Jumhur ‘Ulama dahulu
maupun sekarang karena kuatnya argumentasi mereka yang berdasarkan ayat
dan hadits-hadits diatas.
Adapun yang
diriwayatkan sebagian sahabat dan tabi’in di atas. Maka yang dimaksud
adalah mereka bersahur hingga merasa yakin fajar telah terbit,
demikianlah dijelaskan oleh Imam An-Nasa’i, Ibnu Katsir, dan para
‘Ulama lainnya, sehingga pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat
pertama. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228.
Adapun
pendapat yang selain ini. Maka tidak perlu ditoleh karena tidak
berdasar pada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
VII. BILA MERAGUKAN TERBITNYA FAJAR
Untuk
lebih menjelaskan lagi, bahwa sahur lebih afdlol diakhirkan dan batas
waktu akhir adalah terbit fajar, adanya sebagian ‘Ulama yang
membolehkan makan dan minum bila dia masih meragukan terbitnya fajar
shodiq.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Atho’, Al-Auza’y, Imam
As-Syafi’iy , dan Imam Ahmad bin Hambal rohimahumullah . Mereka
berpegangan dengan ayat :
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Al Baqoroh : 187 )
VIII. BID’AHNYA IMSAK MASA KINI
Bila
penjelasan di atas telah dipahami, maka dengan mudah dan ilmiyah kita
dapat menghukumi bid’ahnya IMSAK di zaman sekarang ini, dimana ada
sebagian faham sempalan yang menentukan waktu IMSAK jauh sebelum fajar shodiq muncul.
Untuk
lebih membuktikan lebih akurat lagi tentang hal ini, maka saya
jelaskan hal-hal penting yang merupakan prinsip Islam sebagai berikut :
1.
Berpuasa adalah ibadah, bahkan termasuk rukun Islam. Untuk itulah
Allah mewajibkannya dan memberi pahala orang yang melaksanakannya serta
mengancam orang-orang yang meninggalkannya.
Hal ini adalah perkara yang telah di maklumi oleh segenap kaum Muslimin. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ” (Al Baqoroh : 183)
2. Sementara ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah melainkan bila terpenuhi dua syarat :
a. Ikhlas
Yaitu mempersembahkan Ibadah tadi hanya untuk Allah semata dan tidak boleh untuk yang selain-Nya. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah : 5)
Bila syarat ini hilang, maka orang itu terjatuh pada perbuatan syirik yang menghapus amalannya, firman Allah:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar : 65)
b.
Mengikuti dan sesuai dengan Sunnah Rosulullah baik dalam hal kaifiyah
(tata cara), waktu, tempat, dan yang lainnya. Allah berfirman :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (Al Hasyr : 7)
Bila syarat ini hilang, maka diapun terjatuh pada Perbuatan Bid’ah. Sabda Rosul :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدًّ [رواه مسلم عن عائشة]
“ Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang bukan dari kami maka dia tertolak”
Dari sinilah, para ‘Ulama menetapkan suatu kaidah yaitu “hukum asal ibadah adalah haram hingga ada dalil (Al-Kitab dan Sunnah) yang mensyari’atkannya”
Dengan
demikian jelaslah, bahwa Imsak adalah bid’ah mungkaroh yang harus
dilenyapkan oleh kaum muslimin dari bumi pertiwi ini, sebab imsak tidak
dilandasi oleh dalil dan banyak menimbulkan kesalahan-kesalahn fatal
dalam agama seseorang.
Berikut ini saya bawakan
penjelasan para ‘Ulama tentang masalah ini agar kaum muslimin merasa
mantap dan yakin akan kebid’ahan Imsak.
- · Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany .
“Faidah
: Ketahuilah! Bahwa tidak ada pertentangan antara pensifatan Beliau
terhadap fajar shodiq dengan “Warna Merah” dan pensifatan Allah
terhadapnya dengan firman-Nya “Tali Putih” sebab yang dimaksud adalah
–wallahu a’lam- : Cahaya putih bercampur merah atau terkadang bercahaya
putih dan terkadang bercahaya merah, sesuai dengan perbedaan Mathla’.
Hal ini saya lihat sendiri bekali-kali dari rumah saya di Jabal Hamlan
sebelah timur Omman. Sehingga hal ini mempekuat keyakinan saya akan
kebenaran berita yang disampaikan oleh sebagian orang yang sangat
berkeinginan membetulkan ibadah kaum muslimin bahwa adzan fajar
disebagian negara-negara arab diawalkan sebelum fajar shodiq antara 20
–30 Menit yaitu sebelum fajar kadzib juga!?
Saya
seringkali mendengar Iqomat sholat fajar dari sebagian mesjid bersamaan
dengan terbitnya fajar shodiq, mereka adzan setengah jam sebelumnya.
Akibatnya, mereka sholat sunnah fajar sebelum waktunya, mereka terkadang
pada bulan Romadhon menyegerakan pelaksanaan sholat fardu sebelum
waktunya, sebagaimana yang saya dengar di radio DAMASKUS saat saya
sedang makan sahur Romodhon tahun lalu ( 1406 H).
Ini semua berakibat mempersempit waktu orang dengan segera Imsak dari makan dan mengakibatkan batalnya sholat subuh. Hal-hal diatas disebabkan mereka berpatokan dengan jadwal waktu falak dan berpaling dari jadwal waktu syar’i.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqoroh : 187)
Ini adalah peringatan, dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin..” ( Silsilah As-Shohihah No: 2031, lihat Nudhumulfaroid karya Abdul latif 1/512-513 cet. 1 Maktabatul Ma’arif-Riyadl-tahun 1420 H/1999 M)
- · Al-Imam Abdullah Aalu Bassam
“ Sesugguhnya waktu imsak adalah terbitnya fajar, sebagimana firman Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dengan
demikian kita mengetahui, bahwa dua waktu yang dibuat oleh orang ,
satu waktu Imsak dan yang lain untuk terbit fajar adalah Bid’ah yang
tidak diturunkan dalilnya oleh Allah . Itu hanyalah was-was syaithon untuk mengkaburkan agama mereka, padahal menurut Sunnah Muhammad Imsak itu pada awal fajar .“
(Taisur Allam, 2/58)
- · Al-‘Allamah As-Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzohullah, salah seorang ‘Ulama besar Saudy Arabiyah.
“Sebagaian
orang terlalu dini dalam makan sahur, sebab mereka bergadang malam
lalu makan sahur dan tidur beberapa jam sebelum fajar. Orang-orang
seperti ini telah melakukan beberapa kesalahan :
1. Mereka telah mulai puasa sebelum waktu puasa.
2.
Mereka meninggalkan sholat fajar secara berjama’ah, merekapun
bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban sholat berjama’ah.
3.
Terkadang mereka mengakhirkan sholat fajar dari waktunya, mereka tak
mengerjakannya melainkan setelah terbitnya matahari, ini lebih besar
lagi dosanya. Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, ” (Al Maa’uun : 4-5)
( lihat : Al-Mulakhosul Fiqh hal. 229-230 cet. Daarul Haitsam-Cairo, tanpa tahun )
- · Syaikh Saya, Abdurrahman Mar’ie Al-‘adny Al-Yamany.
Beliau tegas menyatakan, bahwa IMSAK adalah Haram dan Bid’ah, sebagaimana dalam Tanya jawab saya dengan beliau Via Telphon pada hari Rabu tanggal 28 Desember 2004 M.
Sebagai
penutup pembahasan masalah seputar sahur, berikut ini saya bawakan
faedah mengakhirkan sahur agar kaum muslimin melihat betapa mudah dan
ringan agama Islam ini dan betapa bid’ah Imsak telah memberatkan kaum
muslimin.
Faedah-faedah mengakhirkan sahur ini saya rangkumkan dari penjelasan para ‘Ulama dahulu maupun sekarang .
IX. FAEDAH-FAEDAH MENGAKHIRKAN SAHUR
Diantaranya adalah :
1. Mencontoh Rosulullah dan mencocoki Sunnahnya.
Ini
adalah faedah terbesar dan terpenting. Kalaulah tidak ada faedah pada
mengakhirkan sahur melainkan ini, niscaya sangat cukup sebagai bukti
keutamaannya.
Sebab, mencocoki Sunnah Rosulullah dalam satu amalan
ibadah adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan dan hal
inilah yang didambakan oleh setiap muslim yang masih bersih fithronya.
Apalagi kalau amalan ini dikerjakan ditengah-tangah sebuah masyarakat
yang terkukung dalam cengkraman bid’ah Imsak. Maka pahalanya lebih
berlipat lagi. Rosulullah pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا إلي يَوْمِ القِيَامَةِ لاَ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءاً
“Barang
siapa yang menghidupkan kembali dalam islam ini Sunnah yang baik, maka
dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya
hingga hari kiamat, tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun.”
Mudah-mudahan Allah menjadikan kami termasuk orang yang mendapatkan keutamaan dalam hadits ini. Amin.
2. Meringankan kaum muslim dalam bersahur .
Sebab,
bila bersahur di tangah malam dan imsak jauh sebelum fajar, niscaya
hal ini akan memberatkan dia atau dia perlu memaksakan diri untuk
bangun tengah malam hanya untuk bersahur.
3. Lebih menguatkan orang yang berpuasa sebab dia sangat membutuhkan makanan.
Bila
dia bersahur tengah malam, niscaya akan cepat melemahkan dia, apalagi
kalau dia punya penyakit tertentu, bisa jadi menyebabkan dia buka puasa
di siang hari.
4. Memudahkan dia sholat fajar secara
berjama’ah tepat pada waktu yang disyar’ikan, dimana hal ini lebih
wajib dari pada sahur itu sendiri.
Adapun bila dia sahur jauh
sebelum fajar, maka dikhawatirkan dia akan tertidur dari sholat fajar
secara berjama’ah, lebih parah lagi dia sholat fajar setelah matahari
menyingsing. Wallahu a’lam.
X. WAKTU BERBUKA PUASA
Setelah
selesai pembahasan masalah seputar sahur yang merupakan awal waktu
dimulainya ibadah puasa yaitu bila fajar shodiq telah terbit, berikut
ini saya bawakan masalah-masalah seputar buka puasa yang merupakan
akhir waktu ibadah puasa dan saya bawakan pembahasan masalah waktu
berbuka agar sejalan dengan pembahasan sebelumnya.
Masalah waktu buka puasa ini telah Allah I jelaskan secara gelobal dalm firman-Nya:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al Baqoroh : 183)
Maka
puasa itu dimulai dari terbitnya fajar shodiq hingga masuk waktu malam
sebagaimana konteks lafadz ayat ini, lalu kapan masuknya waktu malam
yang itu adalah waktu berbuka puasa dan dikumandangkannya adzan maghrib ?
Berikut ini saya bawakan hadits-hadits Rosulullah yang menjelaskan ayat di atas:
1. Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1954 ( lafadz hadits ini adalah lafadz Imam Al-Bukhory) dan Muslim
no. 1100/51 dari jalan Hisyam bin ‘Urwah t dari Bapaknya dari Ashim bin
Umar bin Al-Khoththob dari bapaknya berkata : Rosulullah bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Bila
Malam telah datang dari arah sini (timur) dan Siang telah pergi dari
arah sini (barat) dan telah tenggelam matahari, maka sungguh orang puasa
telah berbuka .”
Al-Imam An-Nawawy As-Syafi’iy رحمه الله dalam Syarah Shohih Muslim (7/181 ) menjelaskan :
“Maknanya
adalah telah selesai dan sempurna puasanya dan dia sekarang telah
disifati sebagai orang yang buka puasa, sebab dengan tenggelamnya
matahari, hilanglah siang dan datanglah malam, sementara malam itu bukan
tempat untuk puasa.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany As-Syafi’iy رحمه الله menjelaskan lebih lanjut :
“Dalam
hadits ini Beliau menyebutkan tiga perkara, walaupun ketiganya pada
asalnya saling berkaitan namun tekadang secara zhohir tidak demikian,
bisa jadi disangka telah datang waktu malam dari arah timur namun
datangnya tidak secara hakiki disebabkan adanya sesuatu yang menutupi
cahaya matahari, demikian pula perginya waktu siang, dari sinilah
Beliau mengkaitkannya dengan sabdanya “dan matahari telah tenggelam”
sebagai isyarat adanya persyaratan terwujudnya datang (malam) dan pergi
(siang), yang keduanya diketahui dengan perantara tenggelamnya
matahari bukan dengan sebab lainnya. “ ( Fathul Bari 4/710)
2. Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1955 dan Muslim
no. 1101/52-53 dari jalan Abu Ishak As-Syaibany رحمه الله dari Abdullah
bin Aufa t beliau berkata : “ Kami pernah bersama Rosulullah dalam
suatu safar sedangkan Beliau berpuasa, tatkala matahari telah hilang
Beliau berkata kepada sebagian kaum : “ Wahai fulan! Bangunlah buatkan
untuk kita Al-Jadh (tepung sawik dicampur dengan air diaduk hingga
rata, pent). ” dia berkata : “ Wahai Rosulullah! Seandainya engkau
tunda hingga lebih sore?” kata Beliau : ”Bangunlah buatkan kami Al-Jadh
!” dia berkata : ”wahai Rosulullah! Kalau engkau tunda hingga lebih
sore .” , kata Beliau : “Turunlah buatkan kami Al-Jadh !!” dia berkata
:” sesungguhnya ini masih terang!!”, kata Beliau :” Turunlah! Buatkan
kami Al-Jadh!!!” diapun turun lalu membuatkan mereka Al-Jadh, Rosulullah
pun meminumnya lalu bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“ Bila kalian telah melihat malam telah datang dari arah sini (timur), maka telah berbuka orang yang puasa itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany رحمه الله juga
menerangkan : “Dalam hadits ini juga ada anjuran menyegerakan berbuka
puasa, dan tidak ada keharusan menahan sebagian malam secara mutlak,
bahkan kapan saja diyakini tenggelamnya matahari. Maka telah halal
berbuka puasa.” (Fathul Bari 4/711)
Dari
penjelasan dua hadits di atas berikut uraian dua Imam dari Madzhab
Syafi’iy di atas, jelaskan bagi kita bahwa berakhirnya waktu puasa
adalah semata-mata tenggelamnya matahari. Hal ini telah dipraktekkan
oleh Rosulullah dan para shohabatnya sebagaimana dalam hadits Abdullah
bin Abi Aufa di atas.
Juga secara khusus telah dilakukan
oleh seorang shohabat yang mulia Abu Said Al-Khudry , sebagaiman yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan
Abdul Wahid bin Aiman dari bapaknya dia berkata: “Kami pernah masuk
kepada Abu Sa’id lalu dia berbuka puasa semetara kami melihat bahwa
matahari belum tenggelam.”
Atsar ini sanadnya Hasan.
Abdul Wahid bin Aiman LA BA’SA BIHI ( tidak mengapa dalam hadits)
ya’ni dihasankan haditsnya, sementara bapaknya, AL-IMAN AL-HABASY
AL-MAKKY dia TSIQOH (terpercaya haditsnya)
Al-Hafizh Ibnu
Hajar رحمه الله menjelaskan tentang atsar di atas “Sisi pendalilan
dari atsar ini adalah bahwasanya Abu Sa’id tatkala merasa yakin
matahari telah tenggelam, beliau tidak mencari keterangan tambahan lain
dan tidak pula menoleh kepada persetujuan orang-orang yang
disekitarnya…” ( Fathul Bari 4/710)
Untuk
memperjelas lagi makna ayat di atas. Berikut ini saya bawakan
penjelasan sebagian ahli tafsir tentang ayat di atas, diantaranya :
- · Al-Imam Al-Qodli Abu Bakar Ibnul Aroby Al-Maliky dalam Ahkamul Qur’an, 1/105. Menjelaskan :
“ Masalah ke sepuluh : firman-Nya: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Robb
kita yang Maha Tinggi mensyaratkan kesempurnaan puasa hingga jelasnya
waktu malam, sebagaimana Allah membolehkan makan hingga jelasnya waktu
siang, namun bila telah jelas waktu malam, maka Sunnahnya adalah
menyegerakan buka puasa.” Lalu beliau membawakan hadits Abdullah bin
Abi Aufa diatas.
- · Al-Imam Ibnu Katsir As-Syafi’iy dalam tafsirnya 1/230 menguraikan:
“Firman-Nya
(ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ) mengharuskan berbuka
puasa ketika tenggelamnya matahari sebagai hukum syar’iy.”
- · Al-Imam Asy-Syaukany Al-Yamany dalam Fathul Qodir, 1/339 menjelaskan pula :
“Firman-Nya
(ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ), di dalamnya ada
ketegasan bahwa puasa memiliki batas akhir yaitu malam. Maka ketika
malam datang dari arah timur dan siang pergi dari arah barat, orang
puasa berbuka puasa dan halal baginya makan, minum, dan yang lainnya.”
XI. ANJURAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA
Dua hadits yang saya bawakan di atas menunjukkan praktek Rosulullah dan para sahabatnya dalam hal menyegerakan berbuka puasa.
Berikut ini saya bawakan beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan menyegerakan berbuka puasa :
1) Menyegerakan berbuka puasa membawa kebaikan bagi segenap umat manusia
Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1957 dan Muslim no. 1098 dari jalan Abu Hazim Salamah bin Dinar dari Sahl bin Sa’d, bahwasanya Rosulullah bersabda :
لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الفِطْرَ
”Umat manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan buka puasa “
Al-Imam An-Nawawy As-Syafi’iy رحمه الله menjelaskan :
“Dalam
hadits ini ada anjuran untuk menyegerakan buka puasa setelah
dipastikan tenggelamnya matahari, makna hadits ini adalah urusan umat
ini akan senantiasa teratur rapi dalam kebaikan selama mereka menjaga
Sunnah ini, bila mereka mengakhirkannya maka itu adalah tanda kerusakan
yang bakal menimpa mereka.” ( Syarah Sohih Muslim 7/181)
2) Menyegerakan berbuka puasa adalah Sunnah Rosulullah .
Dalam Shohih Ibnu Hibban no.891 dengan sanad yang dishohihkan oleh syekh Ali Hasan dan Syekh Salim Al-Hilaly dalam ‘ Sifat Shoum An-Nabi ‘ hal. 63. Dari hadits Sahl bin Sa’d bahwa Rosulullah bersabda:
لاَتَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَالَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النَّجُوْمَ
“umatku akan senantiasa diatas Sunnahku selama mereka tidak menanti munculnya bintang dalam buka puasa.”
3)
Menyegerakan berbuka puasa adalah tanda nampaknya syi’ar agama ini
sekaligus menyelisihi sunnahnya Ahli kitab: Yahudi dan Nashroni .
Dalam Sunan Abu Dawud 2/305 dan Shohih Ibnu Hibban no.224 dengan sanad yang dihasankan oleh Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilaly dalam ‘Sifat Shoum An-Nabi ’ hal 64 dari hadits Abu huroiroh bahwa Rosulullah bersabda:
لاَيَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَاعَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأَِنَّ اليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama
ini akan senantiasa nampak selama umat manusia itu menyegerakan buka
puasa, sebab orang yahudi dan nashoro mengakhirkannya.”
Menyegerakan
buka puasa adalah pendapat seluruh kaum muslimin semenjak zaman
shahabat sampai sekarang dan hari Qiamat nanti, tidak ada yang
menyelisihinya kecuali dua golongan aliran sesat:
1. Orang – orang Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashroni .
Mereka inilah nenek moyang setiap orang yang mengakhirkan buka puasa.
2. Aliran Syi’ah Rofidloh kaum Munafiqin dari umat ini, bahkan banyak para ‘Ulama’ yang mengkafirkan aliran ini.
Mereka
inilah perpanjangan tangan kaum Zionis–Salibis yang berupaya
menghancurkan dan menjajah Islam dan kaum muslimin dalam program
Imprialisme Internasional mereka .
Al–Imam Ibnu Daqiq Al‘Ied رحمه الله menjelaskan hadits Sahl bin Sa’d t dalam Shohih Al-Bukhory dan Muslim di atas dengan ucapannya:
“Menyegerakan
buka puasa setelah di yakini tenggelamnya Matahari adalah perkara yang
dianjurkan dengan kesepakatan para ‘Ulama’, dalilnya adalah hadits
ini. Dalam hadits ini ada dalil yang membantah aliran syi’ah yang
mengakhirkan (buka puasa) hingga munculnya bintang. Mungkin inilah sebab
keadaan umat ini senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka
puasa, karena bila mereka mengakhirkannya mereka akan terjatuh dalam
pebuatan menyelisihi Sunnah dan mereka akan senantiasa dalam kebaikan
sepanjang mereka menjalankan Sunnah ( Ihkamul Ahkam, 2/179)
Dengan
adanya kesepakatan yang dinukil oleh beliau ini maka atsar yang
disandarkan kepada shohabat Abu Musa Al-Asy’ary dimana beliau
mengakhirkan buka puasa hingga muncul bintang, sebagaimana : yang
termaktub tanpa sanad dlm kitab Al-Muhalla(6/241)
karya Ibnu Hazm. Perlu ditanyakan dan diperiksa kembali keshohihannya,
kalaulah shohih, maka ini adalah semata-mata ijtihad beliau yang salah
dan beliau mandapatkan satu pahala, pendapat ini tidak boleh di toleh
sedikitpun karena sangat bertentangan dengan dalil-dalil di atas, bahkan
Ibnu Hazm sendiri menolak pendapat ini
wallahu a’lam.
Berikut
ini saya bawakan penjelasan para ‘Ulama dahulu maupun sekarang ttg
anjuran menyegerakan berbuka puasa dan cara mengetahui masuknya waktu
berbuka :;
- · Al-Imam As-Syafi’iy .
“Saya
menganjurkan menyegerakan buka puasa dan tidak mengakhirkannya, saya
tidak suka mengakhirkannya bila seseorang sengaja melakukannya setelah
dia melihat ada keutamaan di dalamnya.” Kemudian beliau membawakan
hadits Sahl bin Sa’d t di atas. ( Al-Umm 2/106)
- · Al Imam Ibnu Abdil Barr Al-Andalusy Al-Maliky . Wafat tahun 463 H. Seorang ‘Ulama besar yang paling faham tentang Madzhab Maliky dalam kitabnya At-Tamhid, 7/181 cet. II Al-Faruq Al-Haditsah-Cairo tahun 1422 H/2001 M. Beliau menjelaskan :
“Termasuk Sunnah adalah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur.
Menyegerakan berbuka puasa dapat terealisasikan setelah diyakini
tenggelamnya matahari, tidak boleh bagi siapapun untuk berbuka puasa
dalam keadaan dia ragu matahari telah tenggelam atau tidak ? Sebab
kewajiban itu bila ditentukan dengan keyakinan, maka tidak boleh keluar
daripadanya melainkan dengan keyakinan .
Allah berfirman : ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
sementara awal malam adalah tenggelamnya matahari seluruhnya dari pandangan orang-orang yang melihatnya.”
- · Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy , tokoh utama Madzhab Zhohiri.
“Termasuk
Sunnah adalah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur, dan itu
diketahui hanya dengan hilangnya matahari dari ufuqnya orang yang puasa
tidak lebih daripada itu.” ( Al-Muhalla 6/240 ).
- · Al-Imam Al-Muhallab As-Syafi’iy :
“Para
‘Ulama sepakat bahwa waktu buka puasa adalah bila telah diyakini
tenggelamnya matahari dengan pandangan kasat mata atau khobar dua orang
yang adil, demikian pula khobar satu orang adil menurut pendapat yang
kuat.” ( lihat Fathul Bari 4/713)
- · Al-Imam An-Nawawy dalam kitab besarnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/262. Menukilkan kesepakatan ‘Ulama Madzhab Syafi’iy dan ‘Ulama lainya tentang anjuran menyegerakan buka puasa dengan dalil hadits-hadits shohih yang tersebut diatas, dan beliau menyebutkan dua hikmah :
1. Membantu meringankan orang yang berpuasa.
2. Menyelisihi Ahlul Kitab.
- · Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah , wafat tahun 728 H.
Beliau
pernah ditanya tentang ‘Tenggelamnya Matahari’ : “Apakah boleh bagi
orang yang berpuasa berbuka dengan semata-mata tenggelamnya matahari? “
Jawab beliau : “Bila telah hilang seluruh bundaran matahari
maka orang berpuasa boleh berbuka dan tidak dianggap adanya warna merah
yang tersisa di ufuq. Bila telah hilang bundaran matahari, maka akan
tampak hitamnya malam dari arah timur…” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/215-216)
- · Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir As-Shon’any , wafat 1182 H.
“Hadits
ini ( hadits Sahl ) adalah dalil yang menunjukkan anjuran menyegerakan
buka puasa bila telah diyakini tenggelamnya matahari dengan pandangan
kasat mata atau dengan kabar seseorang yang boleh diamalkan ucapannya…”
( Subulus Salam, 2/313 cet. I , Daarul Fikr tahun 1411 H/1991 M)
- · Al-Imam Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin .
“Ucapan beliau : “dan menyegerakan buka puasa”
yakni menyegerakannya bila matahari telah tenggelam. Yang dianggap
adalah tenggelamnya matahari bukan adzan apa lagi sekarang ini orang
banyak bersandar dengan jadwal lalu mereka cocokkan jadwal tadi dengan
jam-jam mereka. Padahal jam-jam mereka itu mengalami perubahan, kadang
maju kadang mundur.
Bila matahari telah tenggelam dan
engkau menyaksikannya sementara orang–orang belum adzan, maka engkau
boleh berbuka puasa karena Rosulullah bersabda:
إِذَا
أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا-وَإِشَارَ إِلَىالمَشْرِقِ- وَأَدْبَرَ
النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا-وَإِشَارَ إِلَىالمَغْرِبِ- وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ
فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Bila Malam telah datang dari arah
sini (timur) dan siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah
tenggelam matahari, maka sungguh orang yang puasa telah berbuka .”
Tidak
dianggap adanya sinar yang kuat, sebagian orang menyatakan : “Kita
tidak berbuka puasa hingga hilang bundaran matahari dan hari mulai
gelap.” Ini semua tidak dianggap, tapi lihatlah mataharinya! Bila telah
hilang bagian atas maka matahari telah tenggelam dan dianjurkan berbuka
puasa…” ( As-Syarhul Mumti’ 3/81)
Beliau juga menjelaskan hal ini dalam kitab yang lain Majalis Syahri Romadlon
hal. 125 : “Termasuk adab puasa yang dianjurkan adalah menyegerakan
buka puasa bila telah dipastikan tenggelamnya matahari dengan
menyaksikannya atau kemungkinan besar telah tenggelam dengan khobar
yang tepercaya baik itu adzan ataupun yang lainnya…”
- · Al-‘Allamah Sholih bin Fauzan Al-Fauzan .
“Dianjurkan
menyegerakan buka puasa bila matahari dipastikan telah tenggelam
dengan cara menyaksikannya atau kemungkinan besar telah tenggelam
dengan khobar terpercaya baik adzan ataupun yang lainnya…” ( Al-Mulakhosul Fiqh hal. 230).
- · Al-‘Allamah Abdullah Aalu Bassam .
“Anjuran
menyegerakan buka puasa. Para ‘Ulama telah sepakat dianjurkannya
menyegerakan buka puasa bila matahari telah tenggelam dengan pandangan
kasat mata atau kemungkinan besar telah tenggelam.” (Taudlihul Ahkam 3/153)
Di halaman yang sama beliau menjelaskan:
“Para
‘Ulama sepakat bahwa menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur
adalah Sunnah yang harus diikuti, demikian dihikayatkan oleh Al-Wazir
Ibnu Hubairoh dan ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin.”
Beliau Melanjutkan:
“ Allah befirman : ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Ini
menunjukkan bahwa buka puasa dilakukan ketika matahari tenggelam.
Mereka telah sepakat bahwa puasa telah berakhir dengan tenggelamnya
matahari secara sempurna, dan yang Sunnah adalah berbuka puasa ketika
matahari dipastikan tenggelam serta diperbolehkannya buka puasa dengan
perasangka yang kuat dengan kesepakatan (‘Ulama), karena prasangka yang
kuat menduduki tempat keyakinan.”
Demikianlah sedikit
penjelasan dari para ‘Ulama terkemuka saya nukilkan untuk semakin
memperjelas masalah ini. Cukuplah bagi kita ayat dan hadits serta ijma’
para ‘Ulama untuk mengamalkan Sunnah yang terlupakan ini.
Yang
perlu diingat adalah dengan tenggelamnya matahari berarti telah habis
waktu puasa dan masuklah waktu maghrib disaat itulah dikumandangkan
adzan sebagai pertanda waktu buka puasa dan sholat maghrib.
Sebelum
saya akhiri pembahasan ini, perlu saya bawakan beberapa permasalahan
yang perlu diperhatikan oleh segenap kaum muslimin, diantaranya adalah :
1.
Dianjurkan bebuka puasa terlebih dahulu walaupun dengan seteguk air
sebelum melaksanakan sholat maghrib, dan ini adalah pendapat Jumhur
‘Ulama sebagaimana zhohir hadits diatas.
Dan diriwayatkan dari
Umar bin Khoththob dan Utsman bin Affan رضي الله عنهما dengan sanad
shohih bahwa beliau berdua bebuka puasa setelah sholat maghrib ( lihat Al-Umm 2/106)
2. Al-‘Allamah Sholih bin Fauzan Al-fauzan memperingatkan :
“Di
sini ada perkara yang harus diperhatikan yaitu sebagian orang
terkadang duduk di meja buka puasanya, makan dan meninggalkan sholat
maghrib secara berjama’ah di masjid, diapun terjatuh pada kesalahan
fatal yaitu tidak berjama’ah di masjid, diapun luput dari pahala besar
dan menyerahkan dirinya kepada adzab.
Yang dianjurkan bagi orang
yang puasa adalah dia berbuka puasa terlebih dahulu lalu pergi sholat
kemudian makan malam setelah itu.” ( Al-Mulakhoshul Fiqh hal.230 ).
Hal
ini juga diingatkan oleh ahli hadits terkemuka zaman ini Al-‘Allamah
Muhammad Nashiruddin Al-Albany رحمه الله dalam karya besar beliau Silsilah Dho’ifah No: 631, lihat : Nudhumul Faroid (1/513-514).
3. Al-Hafizh Ibnu Hajar memberi peringatan tegas : “Peringatan !!!
Termasuk kebid’ahan yang di ingkari adalah apa yang terjadi di zaman
sekarang ini yaitu mengumandangkan adzan subuh yang ke-dua sekitar 1/3
jam sebelum fajar di bulan Romadhon dan memadamkan lampu yang dijadikan
sebagai tanda haramnya makan dan minum bagi yang hendak puasa, dengan
anggapan dari orang yang mengadakannya bahwa hal tersebut untuk
kehati-hatian dalam ibadah, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali
beberapa gelintir orang.
Perbuatan ini pun membuat mereka
tidak mengumandangkan adzan (maghrib) kecuali setelah matahari sudah
lama tenggelam, “untuk memantapkan waktu” kata mereka. Merekapun
mengakhirkan buka puasa, menyegerakan sahur dan menyelisihi Sunnah.
Oleh sebab itulah sedikit sekali kebaikan ada pada mereka dan menyebarlah kejelekan di kalangan mereka, wa allahu musta’an.”(Fathul Bari 4/713 –714)
Saya
katakan : “Alangkah miripnya apa yang terjadi di zaman beliau dengan
apa yang terjadi di zaman sekarang, hanya saja dulu menggunakan cara ”memadamkan lampu” dan sekarang menggunakan ”IMSAK”atau “SIRENE”!!!
Mudah-mudahan
apa yang saya tulis ini bisa menjadi penjelasan bagi kaum muslimin
yang menginginkan kebenaran dalam agamanya dan dapat merubah kebiasaan
umum di kalangan masyarakat namun menyempal dari ajaran islam ini.
وما أريد إلاّ الإصلاح ما استطعتُ وماتوفيقى إلا بالله عليه توكلت وإليه آنيب
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
وصلىالله علىنبينا محمد و على آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
Sumber:
http://mahad-al-bayyinah.blogspot.com/2006/09/sahur-buka-puasa-bersama-rasulullah.html
Tambahan
DOA KETIKA BERBUKA BAGI ORANG YANG BERPUASA
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.
Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
“Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala akan tetap, insya Allah.” [1]
atau
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ.
Allahumma innii as-aluka birohmatikallatii wasi'at kullasyai-in an taghfirolii
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, supaya memberi ampunan atasku.” [2]
-------------------------- -------
[1] HR. Abu Dawud 2/306, begitu juga imam hadits yang lain. Dan lihat Shahihul Jami’ 4/209.
[2] HR. Ibnu Majah 1/557. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Adzkar, lihat Syarah Al-Adzkar 4/342.
Jadi Do'a berbuka puasa bukan “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…” ya
:)
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.
Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
“Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala akan tetap, insya Allah.” [1]
atau
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ.
Allahumma innii as-aluka birohmatikallatii wasi'at kullasyai-in an taghfirolii
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, supaya memberi ampunan atasku.” [2]
--------------------------
[1] HR. Abu Dawud 2/306, begitu juga imam hadits yang lain. Dan lihat Shahihul Jami’ 4/209.
[2] HR. Ibnu Majah 1/557. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Adzkar, lihat Syarah Al-Adzkar 4/342.
Jadi Do'a berbuka puasa bukan “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…” ya
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar