Penulis: Ustadz Muhammad Ashrul Tsani
Di antara
nikmat yang Alloh berikan kepada hamba-hambaNya adalah dengan
dijadikannya segala sesuatu telah teratur dan tertata rapi. Salah
satunya adalah waktu. Alloh telah jadikan 1 tahun ini sebanyak 12
bulan, dan 4 bulan di antaranya adalah bulan Harom. Alloh jadikan waktu
tersebut sebagai taqdir bagi hambaNya untuk dimakmurkan dengan
keta’atan kepadanya dan bersyukur kepada Alloh atas karuniaNya
tersebut. Alloh berfirman dalam Surah At Taubah ayat 36, yang artinya:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ
اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah hari dimana Alloh menciptakan
langit dan bumi, diantara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan harom”.
(At Taubah : 36)
Dan 4 bulan harom tersebut dijelaskan
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam adalah Muharrom, Rajab,
Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi
Bakroh yang diriwayatkan oleh Al Bukhori Rahimahullah bahwa Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam berkhutbah dalam hajjatu wada’: yang
artinya:
Sesungguhnya zaman telah beredar seperti keadaan
pada hari Alloh menciptakan langit dan bumi. 1 tahun adalah 12 bulan
diantaranya adalah 4 bulan haram. 3 bulan berturut-turut yaitu
Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab yang terletak di antara 2
jumadil (awal dan akhir) dan Sya’ban.
InsyaAlloh kita
akan memasuki salah satu dari bulan haram, yaitu Dzhulhijjah yang di
dalamnya terdapat banyak sekali hukum-hukum, ketaatan, dan ibadah yang
dapat kita lakukan pada bulan tersebut. Sehingga untuk menyambut bulan
tersebut maka sudah selayaknya kita mengetahui dan mempelajari
perkara-perkara apa saja yang dapat kita amalkan pada bulan tersebut.
Di antara amalan yang dapat kita lakukan di bulan Dzulhijjah adalah:
1.
Berpuasa pada 10 hari yang pertama (1-9 Dzulhijjah). Hal ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori Rahimahullah dari
Abdulloh bin Abbas radliyallohu ‘anhu, artinya:
Tidak ada
amal pada hari-hari yang lebih afdhol dari amal pada hari-hari ini (10
hari pertama bulan Dzulhijjah) mereka mengatakan: dan tidak juga jihad
fii sabilillah? Dan beliau berkata: tidak juga jihad fii sabilillah
kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya dan tidak kembali
dari perkara tersebut sedikit pun.
Berkata Al Hafidh Ibnu
Hajar Rahimahullah dan dijadikan dalil dengannya atas keutamaan puasa
pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dikarenakan kedudukan puasa
tersebut di dalam amal. Lalu muncul sebuah masalah apa yang dikeluarkan
oleh Imam Muslim dari hadits ‘Aisyah bahwa beliau berkata: “Tidaklah
aku melihat Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berpuasa pada 10
hari pertama di bulan Dzulhijjah sedikitpun”. Akan tetapi, berkata
Nawawi Rahimahullah bahwa perkataan ‘Aisyah ditakwilkan bahwa beliau
tidak berpuasa pada hari tersebut dikarenakan sakit atau safar atau
sebab lainnya, atau bahwa ‘Aisyah tidak melihat beliau puasa padanya
dan ini tidak mengharuskan dari hal tersebut (perkataan ‘Aisyah
radliyallohu ‘anha tidak melihat Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi
Wassalam berpuasa) tidak adanya puasa beliau pada waktu tersebut.
Berkata
Al Hafidh ; “Dan kemungkinannya bahwa hal tersebut dikarenakan beliau
meninggalkan amal dalam keadaan beliau suka untuk mengamalkannya akan
tetapi khawatir akan diwajibkan atas umatnya sebagaimana tersebut dalam
Shohihain dari hadits ‘Aisyah.
2. Berpuasa pada hari Arofah (9 Dzulhijjah)
Hal
ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qotadah Al
Anshory radliyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
ditanya tentang puasa hari Arofah, maka beliau berkata: “menghapuskan
(dosa-dosa kecil) tahun yang lalu dan tahun yang akan datang”. Dan
ditanya tentang puasa Asyuro (10 Muharrom), beliau berkata menghapuskan
(dosa-dosa kecil) tahun yang lalu.
a) Shaum pada hari
Arafah ini disunnahkan bagi mereka-mereka yang di luar Arafah (tidak
wukuf di Arofah). Sementara mereka-mereka yang wukuf di Arofah tidak
disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu, dikarenakan beliau
Shallallohu ‘Alaihi Wassalam tidak berpuasa pada hari tersebut. Bahkan
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahullah dari Maimunah
bintu Al Harits, bahwa manusia berselisih di sisinya pada hari Arofah
berkenaan dengan puasanya Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam (pada
hari tersebut). Sebagian mereka berkata bahwa beliau berpuasa, dan
sebagian lain menyatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Maka Maimunah
mengantar kepada Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam segelas susu,
dan beliau berada di atas tunggangannya di Arofah, lalu beliaupun minum
(susu tersebut). Ini adalah pendapat jumhur para ‘ulama dan inilah yang
dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury Hafidhahullah.
b)
Sebagian ulama mengharamkannya, seperti halnya Yahya bin Said Al
Anshori dan dirojihkan oleh Al Imam Shon’ani Rahimahullah , berdasarkan
dengan hadits Abu Hurairoh riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu
Majah: “Rasululloh melarang puasa arafah di arafah”
Akan tetapi haditsnya lemah, di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama
Mahdi bin Harb Al Hajari, dia majhul (tidak dikenal).
Para ulama berselisih tentang hikmah tidak disunnahkannya puasa Arofah bagi yang wukuf di Arofah:
a) Sebagian menyatakan untuk memperkuat dalam berdo’a kepada Alloh (pendapat Al Khiroqi).
b)
Sebagian ulama lainnya seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah mengatakan bahwa tidak disunnahkan berpuasa bagi yang wukuf
di Arofah dikarenakan hari tersebut Iednya bagi penduduk Arofah. Maka
tidak disunnahkan berpuasa bagi mereka. Wallohu a’lam bish showab.
3. Udhhiyyah / berqurban :
Kata
Udhhiyyah merupakan bentuk jamaknya dari adhoohiy. Dijelaskan oleh
Imam Nawawi Rahimahullah dalam Syarh Muslim (7/111) ada 4 bahasa:
1 ) udhhiyyah dan
2) idhiyyah bentuk jamaknya adalah adhoohiy dengan mentasydid ya dan meringankannya
3) dhohyah bentuk jamaknya adalah dhohaayaa.
4)
adhhaah jamaknya adhhaa, dan karenanya dinamakan yaumul adha. Dan
dikatakan; dinamakan demikian karena dilakukan pada waktu dhuha yaitu
naiknya siang.
Udhhiyyah disyari’atkan oleh Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala kepada hamba-hambaNya sebagai bukti syukur seorang hamba kepada
Rabbnya setelah memberikan nikmat/anugrah yang banyak kepada mereka.
Alloh berfirman dalam Surah Al Kautsar ayat 1-3 yang artinya:
“Sesungguhnya kami telah memberimu Al Kautsar, maka sholatlah kepada
Rabb-mu dan berqurbanlah”.
Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’dy
Rahimahullah dalam tafsir beliau: Alloh mengkhususkan dua ibadah ini
dengan penyebutan, dikarenakan keduanya merupakan ibadah yang paling
utama dan merupakan kedekatan yang paling mulia. Dan dikarenakan pada
sholat terkandung ketundukan pada hati dan anggota tubuh terhadap
Alloh. Sementara pada berqurban merupakan kedekatan kepada Alloh dengan
apa yang paling afdhol yang dimiliki seorang hamba dari hewan qurban.
Juga padanya terdapat pengeluaran harta yang jiwa ini diberikan
fithroh/kecenderungan untuk mencintainya, dan bakhil terhadapnya
(hal.1105).
Hukum Udhhiyyah
Adapun tentang hukum udhhiyyah itu sendiri para ulama berselisih menjadi beberapa pendapat, yaitu:
a)
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah, jika
meninggalkannya dengan tanpa udzur tidak berdosa, dan tidak diwajibkan
atasnya qodho. Diantara para shahabat yang berpendapat dengan pendapat
ini adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Khottob, Bilal, Abdullah bin
Mas’ud. Juga para ulama seperti Said Ibnul Musayyib, Al Qomah, Atho,
Malik, Ahmad, dll.
b) Abu Hanifah, Laits, Rabi’ah, dan Al
Auzai’y berpendapat wajib bagi yang memiliki kemudahan. Ini adalah
pendapat sebagian Malikiyyah. Mereka berdalilkan dengan hadits riwayat
Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dishohihkan olehnya, dari Mikhnaf bin
Sulaim: “Atas setiap ahlu bait terdapat udhhiyyah”. Juga sebelumnya
mereka berdalilkan dengan ayat yang kita sebutkan di atas. Juga
berdalilkan dengan hadits Abu Hurairoh riwayat Ahmad, Ibnu Majah dll:
من كان له سعة و لم يضح فلا يقربن مصلانا
“Barang
siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban maka jangan
mendekati mushola kami”. ( Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shohihul
Jami’, hadits no. 6490)
Namun yang rojih – Wallohu a’lam –
adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan sunnah muakaddah, dengan
melihat hadits Ummu Salamah radliyallohu ‘anha yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim Rahimahullah , bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi
Wassalam bersabda: Yang artinya:
“jika telah masuk 10 hari
(bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka
janganlah menyentuh (mencabut/memotong) dari rambutnya dan kukunya
sedikit pun”
Syahidnya, bahwa beliau Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berkata idzaa arooda, maka ini menunjukkan
bahwa berqurban tidak wajib hukumnya, karena sesuatu yang wajib
terdapat penekanan (ilzam) padanya. Tidak semata-mata irodah
(keinginan), dan pendapat inilah yang dirojihkan oleh Syaikhuna Yahya
bin Ali Al Hajuriy Hafidhahullah. Bahkan tidak dinukilkan dari salah
seorang shahabatpun yang mewajibkannya, seperti yang disebutkan oleh
Ibnu Hazm Rahimahullah, kemudian diriwayatkan juga dari Ibnu Umar
radliyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata:
“bahwa qurban adalah sunnah yang ma’ruf / diketahui”.
Adapun dalil-dalil yang mereka sebutkan seperti:
1)
Firman Alloh : fasholli lirobbika wanhar, tidak menunjukkan wajibnya
udhhiyyah, tetapi menunjukkan bahwa qurban waktunya setelah sholat,
maka riwayat tersebut menentukan terhadap waktunya bukan menunjukkan
wajibnya berqurban. Demikian dijelaskan oleh Ashon’ani Rahimahullah
dalam Subulussalam.
2) Adapun hadits Abu Hurairoh, haditsnya maukuf maka tidak ada hujjah padanya.
3)
Sementara hadits Mikhaf bin Sulaim di dalam sanadnya terdapat seorang
bernama Amir, Abu Romlah. Berkata Al Khottoby Rahimahullah : majhul
(tidak dikenal). Wallohu a’lam bish showab. (lihat Syarh Muslim 7/112,
Subulussalam 4/1352-1353)
Peringatan:
Berkata
Syaikh Yahya Hafidhahullah, meskipun sunnah muakkadah, tidak
sepantasnya bagi mereka yang mampu, untuk meninggalkan sunnah tersebut.
Awal Waktu Penyembelihan Qurban
Berkata
Ibnul Mundzir: para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyembelih hewan
qurban sebelum terbitnya fajar pada hari Nahr (Iedul Adha).
Kemudian mereka berselisih jika setelah waktu tersebut (fajr):
a)
Berkata Syafi’i, Dawud, dan Ibnul Mundzir: masuk waktunya jika
matahari telah terbit dan telah lewat waktu sekedar shalat Ied dan
Khutbah (dari terbitnya matahari), maka jika menyembelih setelah waktu
ini sah-sah saja. Sama halnya imam telah sholat atau belum.
b)
Berkata Malik Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban
kecuali setelah shalatnya imam, khutbahnya imam dan menyembelihnya imam.
c)
Berkata Ahmad Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban
sebelum shalatnya imam, dan boleh setelah shalatnya imam, meskipun imam
belum menyembelih.
Yang rojih wallohu a’lam adalah
pendapat yang terakhir yang menyatakan bolehnya menyembelih hewan
qurban ketika selesai sholat dan khutbahnya imam. Sesuai dengan zhahir
hadits Jundub bin Sufyan Al Bajaly yang diriwayatkan oleh Al Bukhari
dan Muslim yang artinya:
“Barang siapa menyembelih sebelum
sholat, maka hendaknya dia menyembelih yang lain sebagai penggantinya”
dalam lafadz lain: “Barang siapa menyembelih sebelum shalat maka
hendaknya dia menyembelih seekor kambing sebagai penggantinya”.
Juga
berdasarkan hadits Al Bara bin ‘Azib riwayat Al Bukhari dan Muslim:
“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka sesungguhnya dia
menyembelih untuk dirinya, dan barang siapa yang menyembelih setelah
shalat maka telah sempurna qurbannya dan mencocoki sunnahnya kaum
muslimin”
(lihat Syarah Muslim 7/112-114)
Akhir Waktu Penyembelihan Qurban
a)
Berkata Syafi’i Rahimahullah : boleh berqurban pada hari Nahr (Iedul
Adha) dan hari-hari Tasyrik yang 3, setelahnya. Ini juga pendapatnya
Ali bin Abi thalib, Jubair bin Muth’im dan Abdullah bin Abbas
radliyallohu ‘anhum.
b) Berkata Abu Hanifah, Malik dan Ahmad:
Qurban khusus pada hari Nahar (Iedul Adha) dan 2 hari setelahnya. Ini
juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Umar
radliyallohu ‘anhuma.
c)Berkata Muhammad bin Sirrin: tidak boleh berqurban kecuali pada hari Nahr saja.
Yang
rojih wallohu a’lam pendapat Syafi’i Rahimahullah yang menyatakan
bahwa akhir waktu qurban adalah hari Tasyrik yang ketiga yaitu sebelum
tenggelamnya matahari pada hari itu. Dalilnya adalah hadits Jubair bin
Muth’im radliyallohu ‘anhu riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban, artinya:
“Hari Tasyrik adalah hari-hari penyembelihan atau seluruhnya waktu
penyembelihan”
Hadits ini memiliki jalan yang banyak yang
menguatkan satu sama lain. Dan juga berdasarkan hadits yang lain yang
sanadnya shohih dan disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Rahimahullah
dalam Shahihul Musnad: “Hari-hari Mina adalah tiga hari”
Dan
inilah yang dirajihkan Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah (lihat Syarah
Muslim 7/112, Subulussalam 4/1354-1355, Zaadul Ma’ad 2/318-320)
Tempat Udhhiyyah
Disunnahkan
untuk menyembelih hewan qurban di musholla kaum muslimin dalam rangka
menampakkan syiar-syiar agama. Sesuai dengan hadits Abdullah bin Umar
radliyallohu ‘anhu yang diriwayatkan Bukhori Rahimahullah : “Adalah
Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berqurban dan menyembelih di
musholla (tanah lapang)”
(lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613, Zaadul Ma’ad 2/322)
Hukum Tasmiyyah (mengucapkan bismillah) Ketika Menyembelih
Telah
sepakat kaum muslimin tentang disyariatkannya menyebut nama Alloh
ketika melepas hewan pemburu binatang buruan, ketika berqurban dan
menyembelih hewan qurban. Lalu mereka berselisih tentang hukumnya apakah
wajib atau sunnah?
a) Madzhabnya Syafi’i dan sebagian ulama,
bahwa hukumnya sunnah. Bagi yang meninggalkannya karena lupa atau
sengaja halal buruannya dan sebelihannya. Ini juga pendapatnya Malik
dan Ahmad dalam sebuah riwayat.
b) Berkata ulama
dari kalangan Hanafiyyah, bahwa tasmiyyah wajib hukumnya bagi yang
ingat dan tidak halal sembelihannya/buruannya jika ditingalkan secara
sengaja, berdasarkan firman Alloh :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kalian makan dari apa-apa yang tidak disebut nama Alloh atasnya” (Al An’am : 121)
c)
Berkata Ahlu Zhohir (zhohiriyyah) bahwa tasmiyyah wajib, dan apabila
ditinggalkan sengaja atau lupa tidak halal hukumnya. Dan inilah yang
dirajihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah . Berdasarkan ayat
di atas dan juga ayat yang lain, yaitu: dalam Surah Al An’am : 118 :
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“maka makanlah oleh kalian dari apa-apa yang disebut nama Alloh atasnya”
Dan juga berdasarkan keumuman hadits Al Bara bin Azib riwayat Al-Bukhari dan Muslim
“dan barang siapa yang belum menyembelih maka hendaknya dia menyembelih dengan nama Alloh”
Faedah:
Dijelaskan dalam riwayat Muslim bahwa beliau mengucapkan tasmiyyah dengan ucapan :
Artinya: dengan nama Alloh, dan Alloh Maha Besar (lihat Syarah Muslim 7/123, Subulussalam jilid 4/1336 – 1337)
Binatang Qurban yang Diperbolehkan Untuk Disembelih
Berkata
Imam Nawawi: para ulama telah bersepakat bahwa tidak sah sembelihan
qurban dengan tanpa (selain) unta, sapi dan kambing, kecuali yang
dihikayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Al Hasan bin Sholeh, bahwa dia
berkata boleh berqurban dengan kerbau (sapi liar).
Berkata
Imam Shon’ani dinukilkan dari Asma, bahwa beliau berkata ; “Kami
berqurban bersama Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dengan kuda.
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa beliau berqurban dengan ayam”.
Adapun
minimalnya adalah kambing sebagaimana disebutkan dalam riwayat
Tirmidzi dan Ibnu Majjah dari Atha’ bin Yassar, beliau berkata: Aku
menanyakan kepada Abu Ayyub Al Anshori; “bagaimana penyembelihan qurban
pada masa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam? Beliau berkata:
“adalah
seseorang berqurban dengan kambing, atasnya dan atas keluarganya. Maka
mereka makan dan memberikan makan (darinya) (lihat Syarh Muslim 7/119 –
123, Subulussalam 4/1358 dan Rhaudattun Nadhiyyah hal.611)
Binatang Qurban yang Paling Utama
Binatang
qurban yang paling utama adalah yang paling gemuk. Berdasarkan hadits
Abi Rafi’ yang artinya: “Adalah Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
apabila beliau berqurban membeli 2 kibas yang gemuk” (HR. Ahmad dengan
sanad yang hasan)
Juga bedasarkan hadits Abu Umamah dalam
riwayat Bukhori:“adalah kami menggemukkan hewan qurban di Madinah dan
kaum muslimin pun menggemukkan juga. Dan ini adalah pendapat jumhur
ulama. Dan jika ingin mencontoh perbuatan beliau, adalah dengan
menyembelih hewan qurban yang bertanduk dan gemuk, sebagaimana
dijelaskan dalam banyak haditsnya. (lihat Syarah Muslim 7/120,
Raudhottun Nadhiyyah 610).
Umur Binatang Qurban
Sembelihan hewan qurban mempunyai ketentuan-ketentuan, diantaranya ketentuan umur sebagai syarat sahnya penyembelihan qurban.
a)
Untuk domba minimal berumur 1 tahun menurut pendapat yang paling
rojih, sebagaimana dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah
b) Untuk kambing minimal berumur 2 tahun.
c) Untuk sapi minimal 2 tahun.
d) Untuk unta minimal berumur 5 tahun masuk tahun ke-6
Semua
ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim Rahimahullah yang artinya: “Dan janganlah kalian menyembelih
kecuali musinnah (usia 2 tahun untuk sapi, dan kambing, usia 5 tahun
untuk unta), kecuali sulit atas kalian, maka sembelihlah jadzdah (usia 1
tahun) dari domba”
Catatan:
Al Musinnah
adalah Atstsaniyyah yang telah sempurna usia 2 tahun masuk tahun ke-3,
untuk sapi, kambing, adapun istilah untuk unta adalah yang berusia 5
tahun sempurna untuk tahun ke-6, dan inilah fatwa dari Syaikh Yahya bin
Ali Al Hajuriy Hafidhahullah . (lihat Raudhotun Nadhiyyah 611, Syarh
Muslim 7/119-120).
Keadaan Hewan Qurban
Selain
dipersyaratkan umur yang mencukupi dalam hewan qurban, juga
dipersyaratkan harus bebas dari aib/ cacat, terutama 4 cacat yang
disebutkan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dalam hadits Al
Bara bin ‘Azib radliyallohu ‘anhu, berkata Rasululloh Shallallohu
‘Alaihi Wassalam :
Empat jenis hewan qurban yang tidak
diperbolehkan: 1) yang buta, yang jelas butanya, 2) yang sakit, yang
jelas penyakitnya, 3) yang pincang, yang jelas kepincangannya, 4) yang
kurus yang tidak bersumsum. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i,
dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani Rahimahullah) (lihat Raudhotun
Nadhiyyah hal 162, Zaadul Ma’ad 2/320-321).
Pembagian Daging Qurban
Disunnahkan
daging qurban untuk dibagi menjadi 3 bagian: 1/3 untuk dimakan, 1/3
untuk shodaqoh, 1/3 untuk disimpan yang kemudian di shodaqohkan atau
dimakan. Berdasarkan hadits: “Bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi
Wassalam bersabda: makanlah, sedekahlah dan simpanlah”. HR. Bukhari dan
Muslim (lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613, Subulus Salam 4/1360).
Faedah:
Dahulu
pada awal Islam, Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam melarang
untuk menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari, seperti disebutkan
dalam hadits Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Waqid,
Jabir bin Abdillah radliyallohu ‘anhum ajma’in dalam riwayat Muslim,
dikarenakan pada saat itu kaum muslimin dalam keadaan sulit dan
membutuhkan, yang diharapkan daging tersebut betul-betul dimanfaatkan
oleh kaum muslimin. Kemudian larangan tersebut dimansukhkan dengan
hadits Buraidah dalam riwayat Muslim, bahwa Rasululloh Shallallohu
‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya: dahulu aku melarang kalian untuk
menyimpan daging qurban diatas 3 hari maka sekarang tahanlah oleh
kalian apa yang jelas bagi kalian (kalian inginkan). Juga disebutkan
dalam hadits yang semakna dari Jabir bin Abdillah, Abu Said Al Khudri,
Salamah Ibnul Aqwa dan Tsauban (lihat Syarah Muslim 7/132-136).
Peringatan!!
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dan juga hadits lainnya, seperti hadits Ali bin
Abi Thalib dalam shohihain, maka tidak boleh daging qurban maupun
kulitnya dijadikan sebagai upah/ ongkos penyembelihan kepada tukang
sembelih. Akan tetapi ongkos tersebut diberikan dari ongkos tersendiri,
dan jika kulit atau daging hewan qurban tersebut hendak di shodaqohkan
kepada si penyembelih maka tidak mengapa. Karena shodaqoh bukan ongkos
penyembelihan. Ali bin Abi Tholib berkata: Nabi Shallallohu ‘Alaihi
Wassalam memerintahkan kepadaku untuk menyembelih hewan qurbannya (unta
beliau) dan agar aku bershodaqoh dengan dagingnya, kulitnya,
kain/sesuatu yang dihamparkan di punggung hewan qurban. Dan agar aku
tidak memberikan kepada tukang sembelih dari hewan qurban sebagai upah.
Akan tetapi kami memberinya dari sisi kami (HR. Bukhari, Muslim) (lhat
Syarah Muslim 5/69-70).
Larangan Bagi Orang yang Hendak Berqurban
Dijelaskan
oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dalam hadits yang shohih,
bahwa seorang muslim yang hendak berqurban (sama halnya dia yang
menyembelih sendiri atau diwakilkan), maka dilarang untuk memotong
rambutnya, atau bulu-bulu yang asalnya disunnahkan atau dibolehkan.
Juga dilarang untuk memotong kuku atau melepas kulitnya. Hal ini berlaku
sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai dia menyembelih atau hewan qurbannya
disembelih. Berdasarkan hadits Ummu Salamah riwayat Muslim:
“Apabila
telah masuk 10 Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak
berqurban maka jangan menyentuh (memotong) dari rambutnya dan juga
kulitnya. Dalam lafadz yang lain: “dan jangan mengambil rambutnya dan
memotong kukunya”.
Para ulama berselisih tentang hukum larangan di atas, menjadi beberapa pendapat:
a)Berkata Said Ibnul Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq dan Dawud, serta sebagian Syafi’iyyah: hukumnya haram.
b) Berkata Syafi’i dan Malik dalam sebuah riwayat bahwa hukumnya makruh.
c) Berkata Abu Hanifah: tidak dimakruhkan.
Wallohu
a’lam yang rojih adalah pedapat pertama yang menyatakan haram sesuai
dengan zhohir hadits-hadits yang ada. Akan tetapi hukum ini dapat
berubah menjadi mubah, bagi yang merasa terganggu dengan
kulit/rambutnya sehingga mau tidak mau dia harus memotongnya dan ini
adalah pendapat Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhu.
Cara Menyembelih Hewan Qurban
Secara
umum syariat Islam memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik/ihsan
kepada hewan yang kita sembelih, baik dalam hal tata cara penyembelihan
maupun alat-alat yang digunakan untuk menyembelih atau perkara-perkara
lain yang menyegerakan hilangnya ras sakit dari hewan yang disembelih.
Beliau bersabda: “sesungguhnya Alloh telah menuliskan /mewajibkan
untuk berbuat baik kepada segala sesuatu ketika kalian membunuh, maka
berbuat baiklah dalam membunuh tersebut. Dan ketika kamu menyembelih
berbuat baiklah dalam penyembelihan, dan hendaknya salah seorang
diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan qurbannya.
(HR. Muslim dari Syaddad bin Aus radliyallohu ‘anhu).
Adapun mengenai tata cara penyembelihan hewan qurban ada dua cara, yaitu:
1. Nahr
Hal
ini disunnahkan ketika menyembelih unta, yaitu dengan cara mengikat
tangan kiri (disebutkan juga kaki kirinya), dalam keadaan unta itu
berdiri kemudian ditarik, dan setelah punggung unta jatuh di atas tanah
maka segera ditebas/disembelih. Karena dalam keadaan seperti iniada
kenyamanan padanya dan lebih cepat menghilangkan nyawa (lihat Surat Al
Haj Ayat 36).
2. Dzabh
Hal ini disunnahkan ketika
menyembelih sapi, kambing dan lainnya yang selain unta, yaitu dengan
cara membaringkan hewan tersebut pada lambung kirinya, kemudian
penyembelih menginjak pundak kanan hewan, tangan kanan memegang pisau
dan tangan kiri memegang kepala hewan qurban. Dan disyaratkan membaca
tasmiyyah “bismillah wallohu akbar” (dengan nama Alloh dan Alloh Maha
Besar) sebagaimana disebutkan dalam pembahasan yang lalu.
Diperbolehkan
ketika menyembelih menggunakan apa saja yang tajam yang dapat
mengalirkan darah, kecuali kuku dan gigi dan seluruh jenis tulang,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Rafi’ bin Khadij riwayat Bukhari
dan Muslim: “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama
Alloh atasnya, maka makanlah, selain gigi dan kuku. Adapun gigi karena
dia adalah tulang, dan adapun kuku adalah senjatanya orang Habasyah”.
(lihat Syarah Muslim 5/74 dan 7/125-126).
Peringatan!!
-
hendaknya pisau yang digunakan untuk menyembelih adalah pisau yang
sangat tajam, dan menyegerakan jalannya pisau di leher hewan tersebut
ketika memotongnya.
- Ketika hewan qurban telah disembelih,
hendaknya kaki-kaki hewan tersebut dilepas, tidak diikat atau dipegang.
Hal ini memberikan dua faedah yang penting:
1) Lebih meringankan dan memberi kenyamanan bagi hewan yang disembelih.
2) Lebih menuntaskan darah untuk keluar sehingga semakin bersih darahnya dan semakin baik kualitas dagingnya.
-
Adapun yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwa disukai/disunnahkan
agar tidak menajamkan pisau di sisi hewan disembelihan atau tidak
menyembelih seekor hewan di hadapan yang lain, maka hal ini dijelaskan
oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury tidak ada dalil atasnya. Wallohu
a’lam bishshowab.
Bersekutu Dalam Hewan Qurban
Diperbolehkan
bersekutu dalam hewan qurban pada unta sebanyak 7 orang, demikian pula
pada sapi sebanyak 7 orang. Dan disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas
radliyallohu ‘anhu bahwa diperbolehkan bersekutu 10 orang pada unta.
“Unta untuk 10 orang”, Juga hadits Rofi’ bin Khadij dalam shahihain
“adalah Nabi Shallallohu ‘Alaihi Wassalam menyamakan 1 ekor unta dengan
10 ekor kambing”.
Adapun untuk kambing maka hanya untuk 1 orang
dan ahli baitnya (keluarganya) meskipun banyak jumlah mereka.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Atho bin Yasaar dari Abu Ayyub Al
Anshori riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan (lihat Zaadul Ma’ad
2/323, Syarah Muslim 5/72, Subulussalam 4/1359).
BEBERAPA PERMASALAHAN BERKAITAN DENGAN QURBAN (FATWA SYAIKH YAHYA BIN ALI AL HAJURY Hafidhahullah )
1.
Menghadap kiblat ketika menyembelih. Berkata Hafidhahullah : tidak ada
dalil yang mengharuskan untuk menghadap kiblat. Sungguh Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam pernah menyembelih dengan tangannya 60 unta
dan tidak dinukilkan bahwa beliau menyembelih menghadap kiblat. Adapun
riwayat yang datang dari Sunan Baihaqy dari jalannya Ibnu Juraij dari
Nafi’ dari Ibnu Umar terdapat ‘an’anah (meriwayatkan dengan lafadz ‘an)
Ibnu Juraij dan dia adalah seorang mudallis.
2. Jual
beli daging qurban atau kulitnya. Berkata Hafidhahullah : tidak boleh
jual beli daging qurban atau kulitnya, tetapi bershodaqoh dengannya
sebagaimana perintah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam kepada Ali bin
Abi Thalib dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
3. Apakah diambil dari harta anak yatim untuk hewan qurban? (sebagai qurbannya)
berkata
Hafidhahullah : tidak diambil dari harta anak yatim dalam perkara
mustahab, dan udhhiyyah hukumnya sunnah muakkadah. Hanya saja diabil
dari hartanya untuk zakat saja, berdasarkan dalil yang kuat: “diambil
zakat dari orang-orang kaya mereka (kaum muslimin) dan dibagikan kepada
oran gyang fakir diantara mereka (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah
bin Abbas radliyallohu ‘anhu.
4. Mana yang lebih afdhol
udhhiyyah dengan zatnya atau bershodaqoh dengan uang seharga udhhiyyah
tersebut? Berkata Hafidhahullah: tidak ragu lagi bahwa udhhiyyah lebih
afdhol dari shodaqoh dengan harganya, bahkan udhhiyyah terkandung di
dalamnya shodaqoh seperti perintah beliau dalam hadits Ali bin Abi
Tholib.
5. Apakah boleh seorang wanita menyembelih hewan
qurban? Berkata Hafidhahullah : na’am, boleh-boleh saja seorang wanita
menyembelih hewan qurban meskipun dalam keadaan haidh. Sebagaimana
dinukilkan dari Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bary.
6.
Menyembelih qurban untuk mayit? Berkata Hafidhahullah : berkata Ibnul
Mubarok Rahimahullah, tidak disembelih hewan qurban untuknya akan
tetapi di shodaqohkan atasnya sebagaimana hadits Abu Hurairoh riwayat
Bukhari dan Muslim: “jika mati anak Adam terputus amalnya kecuali 3
perkara: shodaqoh jariyah ……” al hadits.
Dan seorang mayit tidak
dibebani dengan kewajiban-kewajiban apalagi perkara yang sunnah seperti
halnya udhhiyyah. Dan tidak datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Salam bahwa beliau berqurban atas Khodijah yang telah meninggal.
7. Manakah yang didahulukan, hutang atau udhhiyyah? Berkata Hafidhahullah : ada perinciannya:
-
apabila dalam keadaan sehat dan lapang, terlebih lagi pemilik uang
tidak menginginkannya saat itu, maka tidak mengapa mendahulukan
udhhiyyah.
- Apabila dalam keadaan sempit maka tidak boleh
mendahulukan udhhiyyah dari hutang. Terlebih lagi dia dalam keadaan
sakit atau ajalnya telah dekat. Maka wajib baginya untuk mendahulukan
hutangnya, karena Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam telah
memperingatkan dari hutang dan beliau tidak mensholatkan seseorang yang
mati dan memiliki hutang. Tetapi memerintahkan para shahabat untuk
mensholatkannya.
8. Sembelihan orang-orang rafidhoh?
Berkata Hafidhahullah: tidak dimakan karena kedudukannya sama dengan
sembelihan orang musyrik, dan ini fatwa Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah
9.
Apakah udhhiyyah memansukhkan aqiqah? Berkata Hafidhahullah : ini
adalah pendapat yang batil, bahkan aqiqah wajib hukumnya menurut
pendapat yang paling rajih berdasarkan hadits: “setiap bayi yang lahir
tergadaikan dengan aqiqahnya” HR. Abu Dawud dari Samurah bin Jundab.
Adapun undhhiyyah sunnah muakkadah saja hukumnya dan tidak memansukhkan
aqiqah.
10. Apakah dipersyaratkan pada aqiqah seperti
yang dipersyaratkan pada udhhiyyah? Berkata : jumhur ulama
mempersyaratkan hal tersebut dengan mengqiyaskan aqiqah kepada
udhhiyyah. Akan tetapi yang rajih adalah tidak dipersyaratkan. Dan
qiyas yang mereka gunakan ada perbedaan padanya, seperti halnya
mengqiyaskan antara khutbah Ied dengan khutbah Jum’at. Dan juga selain
dari itu tidak ada dalil yang shahih yang mempersyaratkan hal tersebut.
Wallohu a’lam bishshowab. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar