Google Search




Kamis, 01 Desember 2011

Adakah Bid’ah Hasanah?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, sholawat dan salam bagi Nabi yang ummiy Al Amin, juga untuk keluarga dan para sahabatnya.

Suatu hal yang seringkali menjadi perbincangan adalah penetapan ada atau tidaknya bid’ah hasanah dalam dinul islam yang telah Allah sempurnakan ini.

Maka dalam tulisan saya ini, insya allah pembahasan akan saya titik beratkan pada tiga hal berikut ini:
  1. Penegasan bahwa semua bid’ah adalah sesat, dengan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah serta Atsar dari para sahabat Rasulullah, sesuai dengan penjelasan para ulama
  2. Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang biasa digunakan oleh pendebat
  3. Penegasan bahwa tidak ada bid’ah hasanah dalam islam
Barangsiapa yang bersikap adil dalam membaca tulisan ini, maka akan dapat mengetahui secara pasti bahwasanya tidak ada bid’ah hasanah dalam islam. Walaupun hawa nafsu sebagian manusia menolaknya.
Maka aku wasiatkan kepada diri kami sendiri dan kepada saudaraku semuanya, untuk mengingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (An Nisaa: 135)

Jika hal ini telah dipahami, maka saya akan memulai untuk masuk kepada pembahasan inti dari tulisan ini.

POIN PERTAMA:
Penegasan Kembali, Bahwa Semua Bid’ah Adalah Sesat

Poin ini hendaknya benar-benar mendapat perhatian yang lebih dari pembaca, dan hendaknya membacanya dengan sikap adil dan tidak memihak kepada kebatilan, disini akan disebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an yang mulia dan Sunnah yang suci tentang sesatnya perbuatan bid’ah, beserta beberapa penjelasan dari para ulama tentang dalil-dalil tersebut.

Dalil Pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3)

Telah berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah:
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.Maka sesungguhnya yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)

Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
“Maka sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agamaNya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah menyempurnakan agamaNya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama, berarti (mereka menyatakan bahwa –ag) belum sempurna agama ini, ini berarti mereka telah menolak Al Qur’an, dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama?

Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ra’yi (orang yang mengandalkan akalnya) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka. (Al Qoulul Mufid fi Adillati Al Ijtihad wa At Taqlid hal. 38)

Dalil Kedua:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang berpetunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, -ag), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi)

Telah berkata Al Imam Ibnu rajab rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam <span>كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan kata yang menyeluruh, dan tidak ada pengecualian sedikitpun dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama.” (Jami’ul Ilmi hal. 549)

Telah berkata Al Imam Ibnu Hajar rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan qoidah syar’iyyah yang menyeluruh baik lafadz maupun maknanya. Adapun lafadznya, seolah-olah mengatakan “Ini hukumnya bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
Maka, bid’ah tidak termasuk bagian dari syariat, karena semua syariat adalah petunjuk (bukan kesesatan –ag), apabila telah tetap bahwa hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka ditetapkanlah كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) baik secara lafadz maupun maknanya, dan inilah yang dimaksud. (Fathul Baari 13/254)

Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
“Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) makna yang terkandung didalamnya bersifat menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat. Mencakup dan umum pula yaitu pada lafadz كُلُّ  (semua). Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai bid’ah hasanah, jawabannya adalah dengan ucapan diatas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, dan ditangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni  كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah, dan bentuk kalimat yang digunakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik –ag), sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda  كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ  (semua bid’ah adalah sesat). (Al Ibda fi Kamalisy Syar’i wa Khothiri Al Ibtida’ hal. 13)

Dalil Ketiga:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
“Hadits ini termasuk pondasi pokok agama, karena termuat di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqh yang berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian di dalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil aqli maupun naqli (dari qur’an maupun sunnah –ag)

Dalil Keempat:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا، فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu’anhu: “Ikutilah (tuntunan rasulullah –ag), dan jangan kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua bid’ah adalah sesat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 175 (1/327, 328), dan Al Lalika’I no. 104 (1/86))

Dalil Kelima:
Berkata Abdullah bin Umar radhiyallaahu’anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia melihatnya baik.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 205 (1/339), dan Al Lalika’I no. 126 (1/92))

Dengan ini jelaslah bahwa semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana penjelasan ulama terhadap Ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang menerangkannya.

POIN KEDUA:
Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang digunakan oleh pendebat.

Dalil Pertama:
Pendebat menetapkan dua macam bid’ah; bid’ah yang memberikan petunjuk dan bid’ah kesesatan, pendebat berdalilkan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .  ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah (sunnah yang baik) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah (sunnah yang jelek) dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:

Alasan Pertama:
Bahwasanya makna مَنْ سَنَّ  (Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah) pada hadits diatas ialah: Mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan dengan membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits tersebut adalah; beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah nabawi, hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asbabul wurud hadits ini, yaitu tentang shodaqoh yang telah disyariatkan.
Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam…”

Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –ag.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)

Alasan Kedua:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:  مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً  (barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik), sementara beliau juga bersabda  كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).

Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan. Maka dari semua sabda beliau dapat diketahui bahwa maksud hadits diatas adalah menghidupkan kembali sunnah dan memunculkannya ke permukaan.

Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.

Alasan Ketiga:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ  (barangsiapa membuat sunnah), beliau tidak mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ  (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan  فِي اْلإِسْلاَمِ  (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.
Beliau juga mengatakan  حَسَنَةً  (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dengan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.

Alasan Keempat:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafush shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

Dalil Kedua:
Pendebat menetapkan adanya bid’ah hasanah dengan dalil, ucapan ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu

نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)

Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:

Alasan Pertama:
Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; dengan pendapat siapapun juga (selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ataupun yang lainnya.

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan:
“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini….”

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan:
“Tidak ada pendapat seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalaninya.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.” (Thobaqot Al Hanabilah 2/15, Al Ibanah 1/260)

Alasan Kedua:
Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan:  نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ  (sebaik-baik bid’ah adalah ini) ketika beliau mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shoat tarawih, padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;). Namun beliau tidak keluar. Pada pagi harinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Hadits Aisyah ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sholat tarawih berjamaah telah disunnahkan, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh pendebat.

Alasan Ketiga:
Jika sudah jelas bahwa yang dikerjakan Umar radhiyallahu’anhu ini bukan termasuk Bid’ah, maka apakah makna bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?

Sesungguhnya yang dimaksud bid’ah dalam ucapan Umar radhiyallahu’anhu adalah makna bid’ah secara bahasa, bukan makna secara syar’i. Adapun bid’ah menurut bahasa adalah “Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya.” (Lisanul Arab 8/6)

Ketika sholat tarawih dengan berjamaah ini tidak dikerjakan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa Umar, maka kata “bid’ah” pada ucapan Umar adalah menurut bahasa. Maksudnya tidak ada contoh yang mendahuluinya.

Sedangkan menurut syar’i jelas bukan, karena sholat ini ada asalnya, yaitu dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:
“Barangsiapa yang menamakan bid’ah dengan ibarat ini, maka tidak ada masalah dalam hal penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil untuk mendukung adanya bid’ah yang sedang kita bicarakan (bid’ah hasanah). Karena hal tersebut merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang semestinya.

Berikut kami kemukakan sebagian pendapat para Imam sebagai bukti terhadap yang telah kami sebutkan:

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
“Bid’ah itu ada dua macam:
Pertama: adakalanya bid’ah itu secara syar’I sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Kedua: adakalanya bid’ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan ‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah). (HR. Bukhari) (Tafsir Ibnu Katsir: surah Al Baqarah: 117)

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Adapun sesuatu yang terjadi dari perkataan salaf tentang adanya sebagian bid’ah hasanah, yang dimaksud adalah bid’ah secara lughoh bukan menurut syar’I, seperti perkataan Umar radhiyallahu’anhu:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah). (HR. Bukhari)

Maksudnya adalah, perbuatan ini (sholat tarawih berjamaah secara terus menerus –ag) tidak dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber syar’I yang perbuatan itu kembali kepadanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits 28)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Kebanyakan orang, menggunakan perkataan Umar  نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ  (sebaik-baik bid’ah adalah ini) sebagai dalil untuk mendukung adanya bid’ah hasanah. Padahal bid’ah disni adalah penamaan/penyebutan secara lughowi (bahasa), bukan penamaan/penyebutan secara syar’i. Karena, arti bid’ah menurut bahasa mencakup semua yang dikerjakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Adapun definisi bid’ah menurut syar’I adalah: Setiap apa-apa yang tidak ada dalil syar’I yang menunjukkan atasnya.” (Iqtidho Shirathal Mustaqim, hal. 276)

Dalil Ketiga:
Untuk menguatkan pendapat bahwa ada bid’ah hasanah, pendebat berdalilkan dengan ucapan Imam Asy Syafi’i rahimahullah:

Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji, dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela.” (Hilyatul Auliya 9/113)

Dan berkata pula Imam Asy Syafi’I rahimahullah:

Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan menyelisihi kitab atau sunnah, atau atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela.” (Manaqibu Asy Safi’I oleh Al Baihaqi 1/469 dan Al Ba’its oleh Abi Syamah hal. 94)

Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:

Alasan Pertama:
Telah kita singgung didepan, bahwa tidak boleh perkataan seluruh manusia bertententangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Perkataan Rasulullah menjadi hujjah bagi setiap orang dan bukanlah perkataan seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Telah berkata Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu:
“Tidaklah ada seorangpun selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan ditinggalkan.”

Telah berkata Imam Asy Syafi’i rahimahullah:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits Rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)

Alasan Kedua:
Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam Syafi’i rahimahullah tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’i dengan Bid’ah Mahmudah (terpuji) adalah pengertian bid’ah secara bahasa (lughoh) dan bukan secara syar’i.

Dengan dalil, bahwasanya semua yang bid’ah menurut syariat adalah menyelisihi kitab dan sunnah, dan Imam Asy Syafi’I sendiri memberi batasan bid’ah yang terpuji yaitu yang tidak bertentangan/menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah. Padahal bid’ah secara syar’i jelas-jelas menyelisihi firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3)

Dan menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang lainnya.

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, yang telah disebutkan sebelumnya, adalah bahwasanya pada dasarnya bid’ah yang tercela (Bid’ah Madzmumah) adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syariat, yang dia akan kembali padanya, inilah bid’ah menurut syar’i. Adapun bid’ah yang terpuji (Bid’ah Mahmudah) adalah segala yang sesuai dengan sunnah, yakni sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa) bukan secara syar’I, karena sesuai dengan sunnah. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hadits no. 28)

Dan bid’ah secara lughoh (bahasa) yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam perkataan beliau “bid’ah terpuji”, misalnya: penulisan hadits dan sholat tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid’ah disini adalah secara lughoh (bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang mendahuluinya; adapun menurut definisi syar’I, ini tidak benar karena perbuatan tersebut ada asalnya dari sunnah.

Kesimpulan dari perkataan diatas:
Bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji, bukanlah bid’ah, akan tetapi diduga bid’ah, dan jika memang telah dipastikan sesuatu itu adalah bid’ah, maka bid’ah itu jelek secara qoth’i (pasti), karena menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah.

Alasan Ketiga:
Sudah mahsyur tentang Imam Asy Syafi’i rahimahullah, bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Terbukti ketika beliau ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau mengatakan: “Telah diriwayatkan tentang hal tersebut demikian dan demikian dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam”, maka ada yang bertanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah kamu berpendapat dengannya?” Maka Imam Asy Syafi’i gemetar (karena marah) dan tergoncang, seraya beliau berkata “Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakan yang akan kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat dengan hadits tersebut? Ya, wajib bagiku dengan pendengaran dan penglihatanku” (Shifatu sufwah 2/256)

Maka bagaimana mungkin dalam keadaan beliau yang demikian ini, beliau menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).

Bahkan lebih pantas perkataan Imam Asy Syafi’i ditempatkan pada tempatnya yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam Asy Syafi’i rahimahullah “bid’ah” dalam ucapannya ini adalah makna secara lughowi.

Telah berkata Imam Asy Syafi’i rahimahullah:
“Apabila kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka katakanlah dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Setiap hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Setiap masalah yang benar datangnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menurut ahlu Naql sementara ia menyelisihi apa yang aku katakan, maka saya akan kembali merujuk pada hadits itu selama hidupku dan setelah matiku.” (Tawaliy At Ta’sisi 108)

Dalil Keempat:
Untuk memperkuat argumen tentang adanya bid’ah hasanah, maka pendebat memberikan contoh aplikasi bid’ah hasanah dengan membawakan hadits:

Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu berkata, “Pada suatu hari kami shalat dibelakang Nabi. Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku sambil mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah” (semoga Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka seseorang laki-laki mengucapkan, “Rabbana walakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaraakan fiihi” (Wahai Tuhan kami, hanya bagiMulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik, dan diberkahi). Setelah beliau berpaling (salam), beliau bertanya, ‘Siapakah orang yang mengucapkannya?’ Ia menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Saya telah melihat tiga puluh lebih malaikat bersegera, entah yang mana yang pertama menulisnya.’” (HR. Bukhari no. 799)

Hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:

Alasan Pertama:
Hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa bacaan I’tidal tersebut tidak diajarkan terlebih dahulu oleh Rasulullah. Tidak bisa dikatakan bahwa bacaan tersebut berasal dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu tanpa terlebih dahulu mencontohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Alasan Kedua:
Seandainya hal ini diperbolehkan, maka itu hanya ketika syari’at belum sempurna, namun ketika syari’at islam telah Allah Ta’ala sempurnakan maka tidak boleh kita menambahkan sesuatu kepada yg sudah sempurna, kalau kita menambahkan berarti kita menganggap bahwa agama ini belum sempurna atau Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkhianat dengan cara tidak menyampaikan kesempurnaan itu, hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah:

“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: Pada hari ini telah  Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.Maka sesungguhnya yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)

Alasan Ketiga:
Hal itu terjadi ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam masih hidup, sehingga ada yang bisa mengoreksi atau Allah Ta’ala menurunkan wahyu untuk koreksi kesalahan atau menyatakan benarnya. Adapun saat ini, siapa yang akan mengoreksi jika salah atau membenarkan jika sudah benar?!

Alasan Keempat:
Hampir sama dengan sebelumnya, bahwa yang menetapkan hal itu disyari’atkan adalah Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya, kalau saat ini seorang berbuat bid’ah apakah hal itu dari ketetapan Allah Ta’ala atau dari dirinya?! Kalau dari ketetapan Allah Ta’ala maka melalui lisan siapa hal itu disampaikan?!

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar