Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Banyak
alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘melegalkan’ perbuatan bid’ah.
Salah satunya, tidak semua bid’ah itu jelek. Menurut mereka, bid’ah ada
pula yang baik (hasanah). Mereka pun memiliki dalil untuk mendukung
pendapatnya tersebut. Bagaimana kita menyikapinya?
Di
antara sebab-sebab tersebarnya bid’ah di negeri kaum muslimin adalah
adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ahan
ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ah hasanah. Pandangan
ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).
Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy-Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’: Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ah Hasanah
Syubhat pertama:
Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:
“Barangsiapa
membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia
mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya
tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu
sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya
sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).
Bantahannya
Pertama: Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.
Kedua: Rasul yang mengatakan:
“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”
Adalah juga yang mengatakan:
“Semua bid’ah itu adalah sesat.”
Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan.
Dengan
alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan
mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini
adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab
tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
Ketiga: Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa
yang membuat bid’ah). Juga mengatakan (dalam Islam). Sedangkan bid’ah
bukan dari ajaran Islam. Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan
perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak
ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu adalah
jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang
diada-adakan di dalam agama.
Keempat:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih
menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah
yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.
Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘Umar bin Al- Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.
Jawaban atas syubhat ini:
1.
Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang
mereka maukan – bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita
kaum muslimin mempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat
siapapun juga (selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda
beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di
umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ataupun yang lainnya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Kami
mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An-Nisa`: 165)
Sehingga
tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah
dengan telah diutusnya para rasul ini. Merekalah yang telah menjelaskan
urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah. Merekalah hujjah
Allah terhadap kita manusia, bukan selain mereka.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah
(secara ringkas) mengatakan: “Ayat ini mengajarkan kepada kita
bagaimana beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan
(berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya,
jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segenap urusan. Dan inilah
tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini….”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapapun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”
2. Bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk
shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah
suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti
beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah
itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun beliau tidak keluar. Pada pagi harinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Saya
telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku
untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau)
nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih
berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Jadi jelas bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah
syariat. Dan jelas pula tidak mungkin ‘Umar berani melanggar atau
menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ah itu sesat.”
Syubhat ketiga:
Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)
Bantahan:
- Atsar ini tidak shahih jika di-rafa’-kan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu semata.
Dan diriwayatkan dari Anas ztetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
-
pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui. Dan tentunya
yang dimaksud dengan kata Al-Muslimun di sini adalah para shahabat. Dan
tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan
adanya bid’ah yang hasanah.
- Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’. Dan ijma’ adalah hujjah. Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ah hasanah? Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.
- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ah, di mana beliau radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:
“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.” (Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).
Secara
ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa buruknya
bid’ah. Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini, yang kami nukil
dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali:
Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:
1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa
yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang
bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ahan itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)
3. Pelaku bid’ah akan mendapat laknat karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang berbuat bid’ah, atau melindungi kebid’ahan, maka dia akan mendapat
laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya,
wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ahan ini
setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ah. Selain kita menjauhi
bid’ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya
apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ah
ini. Seandainya ada yang mengatakan: Bukankah mereka orang yang baik
dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga? Hendaklah kita ingat
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Kalau
kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka
dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka
memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)
Perlu
pula kita ketahui bahwa bid’ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan
sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat. Sedangkan pelaku
bid’ah semakin tenggelam dalam kebid’ahannya dia akan semakin merasa
yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi, bid’ah itu adalah posnya
(pengantar kepada) kekufuran.
Wallahu a’lam.
Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya
serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ah ini.
Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid (2), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani
3 Al-I’tisham (1), Asy-Syathibi
4 Al-Luma’, As-Sahibani
5 Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi‘, Salim Al-Hilali
6 Al-Bid’ah wa Atsaruha, ‘Ali Al-Faqihi
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani
3 Al-I’tisham (1), Asy-Syathibi
4 Al-Luma’, As-Sahibani
5 Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi‘, Salim Al-Hilali
6 Al-Bid’ah wa Atsaruha, ‘Ali Al-Faqihi
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar